Buli-Buli Lima Kaki adalah judul buku kumpulan puisi karya Nirwan Dewanto yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2010. Buku setebal 168 halaman (55 judul puisi) dengan ISBN 978-979-22-6443-2, ini mengantarkan Nirwan Dewanto memenangi kali ke-dua Penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa untuk kategori puisi pada tahun 2011. Sebelumnya, tahun 2008, Nirwan juga meraih penghargaan serupa melalui karyanya, Jantung Lebah Ratu.[1][2][3][4]
Latar belakang
Lebih dari setengah dari kumpulan puisi Buli-Buli Lima Kaki karya Nirwan Dewanto ini merupakan prosa lirik. Jumlah yang cukup signifikan dibanding dengan total keseluruhan puisi dalam buku ini yang berjumlah 55 judul puisi. Sekilas susunan sajak itu tampak sebagai prosa karena larik-lariknya relatif lebih panjang dari sebagian besar sajak. Itulah antara lain sebabnya sajak seperti ini disebut prosa liris, prosa yang mengandung ciri-ciri puisi lirik, jenis puisi ini lebih merupakan pengungkapan perasaan daripada pengisahan peristiwa.
Membaca Buli-Buli Lima Kaki seperti bertualang ke wilayah-wilayah baru. Di dalamnya disebut hal-hal yang pernah dikenal tetapi tak sama lagi. Puisi-puisi yang dimuatnya menghimpun itu semua menjadi tampilan baru. Hal-hal yang biasa ditemui sehari-hari seperti tiba-tiba menampilkan diri mereka dengan caranya sendiri. Ragam dunia ditegaskan dengan kemeriahan dan kekhasan benda-benda. Pembaca harus mengenalinya lagi seperti ketika belajar menamai benda-benda untuk pertama kalinya. Perlu kepekaan baru dan menyetel indra agar tak terjebak dengan persepsi klise-usang. Perlu pikiran dan tenaga baru untuk dapat menyusuri dan menikmati liku-liku dan liuk-liuk dunia yang tampil di sana. Perlu siap terkejut dan melepas hasil-hasil pengenalan lama. Karena itu, Nirwan juga mengambil banyak unsur dari hal-hal yang pernah ada di dunia, baik dari sumber-sumber alamiah di alam maupun hasil kreasi manusia seperti lagu, teater, sains, pepatah, dan banyak lagi. Tetapi unsur-unsur itu tidak diperlakukan sebagai rujukan atau representasi. Unsur-unsur itu diperlakukan sebagai presentasi, sesuatu yang menampilkan dirinya sendiri. Unsur-unsur itu juga tidak diperlakukan sebagai bagian dari sumbernya. Mereka dirangkai secara baru dalam puisi sebagai himpunan yang punya prinsip perpaduan tersendiri. Itu semua ikut menentukan watak, wajah, dan gerak-gerik himpunan yang memadukannya. Seakan-akan setiap unsur punya aturan tersendiri meski mereka terhimpun dan dihitung sebagai satu. Jika puisi adalah ikhtiar untuk melampaui bahasa dengan bahasa, maka Buli-Buli Lima Kaki adalah ikhtiar yang berhasil. Dalam puisi-puisi Nirwan Dewanto itu bahasa melampaui fungsinya sehari-hari sebagai alat komunikasi dan ekspresi. Bahasa di sana memungkinkan dunia tampil sebagai presentasi, bukan sebagai representasi. Puisi-puisi itu tidak mewakili atau merujuk kepada apa yang ada di tempat lain, melainkan menampilkan “dunia” tersendiri yang “ada di sini dan kini”. Apa yang luput oleh bahasa, yang tak terkatakan dalam keseharian, ditampilkan di sana. Eksplorasi bahasa bahkan sampai keluar batas-batas pemaknaan yang pernah ditegaskan terdahulu memungkinkan puisi-puisi itu menjalani ikhtiar puitis hingga menghasilkan kebaruan, mencapai kemungkinan-kemungkinan presentasi dunia secara baru.
Referensi