Buku Putih 1939

Buku Putih 1939, yang juga dikenal sebagai Buku Putih MacDonald sesuai dengan nama Malcolm MacDonald, Menteri Negara Urusan Koloni Britania Raya yang memimpin penulisannya, adalah sebuah dokumen yang berisi kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah Britania di bawah Arthur Neville Chamberlain yang memutuskan untuk meninggalkan gagasan tentang pembagian Palestina di bawah mandat Britania, dan sebaliknya membentuk Palestina yang merdeka yang diperintah bersama-sama oleh orang-orang Arab dan Yahudi.

Pra-Buku Putih 1939

Dokumen-dokumen sebelumnya telah menyatakan bahwa Deklarasi Balfour bukanlah sebuah pernyataan setuju Britania tentang pembentukan sebuah negara Yahudi yang sesungguhnya di Palestina.

Pada Januari 1938, Komisi Woodhead dibentuk untuk menjajaki cara-cara untuk menerapkan rekomendasi-rekomendasi yang dibuat oleh Komisi Peel (1936). Laporan Komisi Woodhead diterbitkan pada 9 November 1938. Gagasan pembagian wilayah didukung, namun negara Yahudi yang diusulkan pada intinya jauh lebih kecil, wilayahnya hanyalah dataran pantai saja.

Pada Februari 1939, Konferensi St. James (juga dikenal sebagai Konferensi Meja Bundar 1030) diadakan di London; karena delegasi Arab menolak untuk resmi bertemu dengan delegasi Yahudi atau mengakuinya, usul-usul itu diajukan oleh pemerintah secara terpisah kepada kedua belah pihak, yang tetap tidak bisa menyetujuinya. Konferensi berakhir pada 17 Maret tanpa kemajuan apapun.

Isi Buku Putih 1939

Buku Putih 1939 diterbitkan pada 17 Mei 1939, dan pokok-pokok utamanya adalah:

  • Bagian I. Konstitusi: Dinyatakan bahwa karena lebih dari 450.000 orang Yahudi kini telah bermukim di wilayah mandat itu, Deklarasi Balfour tentang "sebuah tanah air nasional untuk bangsa Yahudi" telah terpenuhi dan diserukanlah pembentukan sebuah negara Palestina yang independen dalam waktu 10 tahun, yang diperintah bersama-sama oleh orang Arab dan Yahudi:

    "Pemerintah Sri Baginda percaya bahwa para penyusun Mandat yang di dalamnya Deklarasi Balfour terkandung tidak mungkin memaksudkan bahwa Palestina harus diubah menjadi sebuah Negara Yahudi berlawanan dengan kehendak penduduk Arab negara itu. [...] Karena itu Pemerintah Sri Baginda kini menyatakan dengan tegas bahwa bukanlah kebijakannya bahwa Palestina harus menjadi sebuah Negara Yahudi. Bahkan Pemerintah akan menganggap hal itu berlawanan dengan kewajibannya terhadap orang-orang Arab di bawah Mandat ini, dan juga dengan jaminan-jaminan yang telah diberikan kepada bangsa Arab pada masa lampau, bahwa penduduk Arab di Palestina harus dijadikan kawula dari sebuah Negara Yahudi, yang berlawanan dengan kehenadk mereka."

    "Tujuan dari Pemerintahan Sri Baginda adalah pembentukan dalam waktu 10 tahun sebuah Negara Palestina yang merdeka dalam hubungan-hubungan perjanjian dengan Britania Raya sehingga akan memberikan kebutuhan-kebutuhan komersial dan strategis dari kedua negara itu dengan memuaskan pada masa depan. [...] Negara yang merdeka itu haruslah satu saja, di mana orang Arab dan Yahudi bersama-sama memerintah dengan cara yang demikian rupa sehingga memastikan perlindungan kepentingan-kepentingan yang hakiki dari masing-masing komunitas."

  • Bagian II. Imigrasi: Imigrasi Yahudi ke Palestina di bawah Mandat Britania akan dibatasi hingga 75.000 orang saja untuk lima tahun pertama, dan kelak akan ditetapkan berdasarkan persetujuan Arab:

    "Pemerintah Sri Baginda tidak menemukan [..] apapun di dalam Mandat ini ataupun di dalam Pernyataan-pernyataan Kebijakan yang sesudahnya yang mendukung pandangan bahwa pembentukan sebuah Tanah Air Nasional Yahudi di Palestina tidak adpat dilakukan kecuali apabila imigrasi diizinkan berlanjut tanpa batas. Bila imigrasi menimbulkan akibat-akibat yang tidak dikehenadki terhadap posisi ekonomi negara ini, imigrasi harus dengan tegas dibatasi; demikian pula bila hal itu menimbulkan akibat yang merugikan secara serius terhadap posisi politik di negara ini, maka itu adalah faktor yang tidak boleh diabaikan. Meskipun tidak sulit orang berdebat bahwa imigran Yahudi dalam jumlah besar yang akan diterima sejauh ini telah diserap secara ekonomi, rasa takut orang-orang Arab bahwa arus masuk ini akan berlanjut tanpa batas hingga populasi Yahudi mendominasi mereka telah menghasilkan akibat-akibat yang sangat parah bagi orang-orang Yahudi maupun Arab, dan bagi perdamaian dan kemakmuran Palestina.


Catatan kaki

Referensi

Lihat pula