Bertanya kerbau pada pedati

Pedati yang ditarik oleh kerbau

"Bertanya kerbau pada pedati" (bahasa Minang: "batanyo kabau ka padati") adalah idiom dari bahasa Minangkabau yang muncul dalam prosa lama seperti pantun, syair, dan dendang. Idiom ini merupakan tamsil penederitaan yang dialami oleh seseorang yang tidak tahu kemana nasib hidup membawanya.

Idiom ini biasanya dirangkai dengan frasa "jauhkah lagi perhentian?" (bahasa Minang: "jauh kok lai parantian?").

Latar belakang

Selain untuk membajak sawah, kerbau digunakan oleh masyarakat Minangkabau untuk menarik pedati. Pedati bergerak karena tenaga kerbau. Tanpa kerbau, pedati tidak dapat berfungsi sebagai alat transportasi. Akan tetapi, yang mendapat nama sebagai alat angkut adalah pedati, bukan kerbau.

Konteks

Kerbau sebagai penarik pedati tidak tahu tujuan perjalanan dan di mana tempat berhenti untuk bisa beristirahat. Pemilik pedati atau kusir, dengan enaknya duduk di pedati sambil tiduran, melamun, berdendang, dan mencambuk kerbau kalau berjalannya kurang cepat. Sang kusir baru ikut berpartisipasi pada saat kerbau melewati jalan yang menanjak. Dia turun dari pedati, membantu memutar roda pedati dan bersiap-siap dengan sepotong kayu yang digunakan sebagai pengganjal roda kalau sang kerbau harus istirahat sebentar. Kalau roda tidak diganjal, pedati akan mundur bersama kerbau.

Pada masa Hindia Belanda, idiom ini menjadi tamsil penderitaan rakyat atas kekuasaan yang dijalankan secara kejam oleh pemerintah kolonial. Kekuasaan mereka tidak mungkin dilawan secara terang-terangan. Penggerak roda pemerintahan adalah rakyat. Tanpa rakyat, program sebaik apapun tidak dapat berjalan. Akan tetapi, rakyat tidak tahu kemana mereka akan bergerak, apa manfaat dari usaha mereka, dan kapan akan berakhir penderitaan mereka. Mereka hanya disuruh bergerak dan terus bergerak. Kalau bergerak lambat, mereka akan dipukul.[1]

Dalam budaya populer

Idiom ini diangkat menjadi lagu oleh Syahrul Tarun Yusuf berjudul Nasib Kabau Padati. Lagu ini dinyanyikan oleh Elly Kasim.[2]

Sastrawan A.A. Navis membuat cerpen semi-fabel bermuatan metafora yang terinspirasi dari idiom ini. Cerpen tersebut berkisah tentang kerbau pedati yang terus bertanya pada pedati sampai akhirnya terlepas dari pedati saat di pendakian.[3]

Referensi

  1. ^ Keajaiban pantun Minang: arti dan tafsir. Ar-Rahmah. 2005. ISBN 978-979-99001-1-1. 
  2. ^ Masoed Abidin (2005). Ensiklopedi Minangkabau. Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau. ISBN 978-979-3797-23-6. 
  3. ^ A.A. Navis; Abrar Yusra (1994). Otobiografi A.A. Navis: satiris dan suara kritis dari daerah. Panitia Peringatan 70 Tahun Sastrawan A.A. Navis & Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. ISBN 978-979-605-141-0.