Berita Film Indonesia (disingkat BFI) merupakan lembaga pembuat film pertama milik Republik Indonesia. BFI didirikan pada 6 Oktober1945, dengan mengambil alih perusahaan film pemerintah pendudukan Jepang, Nippon Eiga Sha.
Sejarah
Masa awal kemerdekaan
Cikal bakal berdirinya perusahaan film milik negara diawali dengan pendirian perusahaan perfilman oleh Albert Ballink pada tahun 1934. Perusahaan ini bernama Java Pasific Film namun pada tahun 1936 namanya berubah menjadi Algemeene Nederlands Indiesche Film (ANIF). Perusahaan ini memfokuskan diri pada pembuatan film cerita dan film dokumenter. Peristiwa pendudukan Jepang di Indonesia pada tahun 1942 disertai dengan pengambilalihan seluruh kekayaan yang berada di bawah
kekuasaan Hindia Belanda oleh pihak Jepang, salah satunya adalah Algemeene Nederlands Indiesche Film (ANIF). Setelah terjadinya peristiwa tersebut, Jepang kemudian mendirikan sebuah perusahaan perfilman yang diberi nama Nippon ii Eiga Sha yang berada di bawah pengawasan Sendenbu. Film yang diproduksi Nippon Eiga Sha pada umumnya bertujuan sebagai alat propaganda politik Jepang.[1]
Nippon Eiga Sha didirikan pada bulan April 1943 oleh pemerintah pendudukan Jepang di Jakarta. Tenaga Indonesia yang bekerja dalam perusahaan itu yaitu Raden Mas Soetarto, yang sudah berpengalaman di bidang film dan diangkat sebagai juru kamera; ia menjadi orang Indonesia pertama dalam kedudukan itu. Ketika Nippon Eiga Sha berdiri, RM Soetarto diangkat oleh Jepang sebagai wakil pimpinan perusahaan merangkap Ketua Karyawan Indonesia dan juru kamera.
Satu setengah bulan setelah proklamasi kemerdekaan, ia memprakarsai pengambil alihan Nippon Eiga Sha dari pimpinannya, T. Ishimoto, atas sepengetahuan Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin. Karena Jakarta tidak aman lagi akibat teror tentara pensering dudukan Sekutu, bulan Desember 1945 BFI diungsikan ke Surakarta. Sebelum pindah, BFI masih sempat memfilmkan hari proklamasi, penempelan poster, tulisan di tembok-tembok, rapat raksasa 19 September di Lapangan Ikada, peristiwa perlucutan senjata Jepang oleh Sekutu, dan pengangkutan serdadu Jepang ke Pulau Galang serta Kongres Pemuda Indonesia di Yogyakarta, November 1945.
Setelah ditinggalkan oleh BFI, studio di Polonia Jatinegara, Jakarta, digunakan tentara NICA untuk kepentingan propaganda dengan didirikannya Regerings Film Bedrijf (Perusahaan Film Pemerintah). Selain itu studio tersebut juga dimanfaatkan oleh NV Multi Film bersama South Pacific Film Co. Karena adanya pengakuan kedaulatan, Belanda kemudian menyerahkan Regrings Film Bedrijf itu kepada pihak Republik Indonesia Serikat. Perusahaan itu mendapat nama baru: Perusahaan Pilem Negara (PPN) di bawah naungan Kementerian Penerangan. Pimpinan PPN pertama adalah Suska. Pada akhir tahun 1950, RM Harjoto diangkat sebagai Direktur dan RM Soetarto sebagai Kepala Produksi Umum, yang meliputi produksi film cerita, film dokumenter dan laboratorium. Pegawai BFI di Yogyakarta pindah kembali ke Jakarta, dan bersama dengan bekas pegawai Regerings Film Bedrijf bergabung dalam PPN yang diganti namanya menjadi PFN (Perusahaan Film Negara).[2]
Ringkasan perkembangan PFN
Perkembangan Perum PFN, seperti yang telah digambarkan di bagian sebelumnya, diawali dengan terbentuknya BFI yang dilatarbelakangi oleh adanya gerakan karyawan film yang bekerja pada Nippon Eiga Sha. Adanya peristiwa penandatanganan draft persetujuan penyerahan Nippon Eiga Sha kepada perwakilan Indonesia pada tanggal 6 Oktober 1945 semakin mempermudah gerak para karyawan BFI untuk melakukan peliputan berbagai peristiwa bersejarah. Pada tahun 1950, BFI berganti nama menjadi Perusahaan Pilem Negara (PPN) namun penyempurnaan EYD membuat namanya berubah kembali menjadi Perusahaan Film Negara (PFN). Pergantian nama perusahaan kembali terjadi dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri
Penerangan No. 55 B/MENPEN/1975 pada tanggal 16 Agustus 1975. Berdasarkan surat keputusan ini maka secara resmi PFN berubah menjadi Pusat Produksi Film Negara (PPFN). Pergantian nama kembali terjadi seiring dengan berbagai usaha yang dilakukan untuk mengembangkan perusahaan dan agar perusahaan dapat dikelola secara profesional dengan menggunakan prinsip-prinsip yang dapat memberikan keuntungan bagi negara serta mampu untuk mendiri. Agar dapat mencapai hal tersebut maka PPFN mengubah statusnya menjadi Perum
sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1988 yang dikeluarkan pada tanggal 7 Mei 1988. Dengan demikian resmilah PPFN berganti nama menjadi Perusahaan Umum Produksi Film Negara (Perum PFN).[1]
Warisan pada negara
Sejak tahun 1946 sampai 1949, BFI telah membuat 13 film dokumentasi dan berita mengenai berbagai peristiwa di awal kemerdekaan RI. Yang diabadikan antara lain Pekan Olahraga Nasional I di Surakarta (1948), Peristiwa Pemberontakan PKI Madiun (1948), Agresi Militer Belanda I dan II, perundingan di atas kapal Renville dan di Linggajati, dan upacara penyerahan kedaulatan di Negeri Belanda, 27 Desember1949.
Film-film dokumenter dan berita itu menggugah semangat perjuangan bangsa dan kesadaran bernegara, setiap kali diputar oleh Jawatan Penerangan di daerah-daerah. Selain itu, dari dokumentasi itu kemudian dapat disusun film dokumenter Indonesia Fights for Freedom (1951) dan 10 November yang mengabadikan pertempuran Surabaya. Beberapa film berita juga diserahkan kepada perwakilan tentara Australia, Amerika, Inggris dan India di Jakarta. Berkat penyiaran kembali film-film itu oleh mereka, perjuangan kemerdekaan Indonesia mendapat tanggapan positif dari dunia internasional.[2]