Bataviaasch Nieuwsblad (bahasa Indonesia: Surat Kabar Batavia) adalah salah satu surat kabar harian terdepan dan terbesar di Hindia Belanda Berkantor pusat di Batavia (sekarang Jakarta), surat kabar ini dibaca di seluruh nusantara. Kantor beritanya didirikan oleh wartawan dan penulis Belanda P.A.Daum pada tahun 1885 dan terus berdiri sampai 1957.
Koran yang inovatif dan populer ini sangat kritis terhadap pemerintah kolonial dan menjadi corong warga Indo di Hindia Belanda, segmen masyarakat penutur bahasa Belanda terbesar di koloni ini. Koran ini telah mempekerjakan sejumlah tokoh Indo-Eropa (Eurasia) seperti E. du Perron, Ernest Douwes Dekker dan Tjalie Robinson. Pengganti P.A. Daum sebagai kepala editor, Karel Zaalberg, adalah pendiri Indo Europeesch Verbond, gerakan sosial dan organisasi politik Indo-Eropa terbesar saat itu.
Harian progresif ini juga memberitakan penderitaan petani pribumi dan evolusi kesadaran nasional Indonesia. Bataviaasch Nieuwsblad adalah koran pertama yang melaporkan pendirian organisasi politik pribumi pertama, Budi Utomo, pada tahun 1908.
P.A. Daum
Pendiri idealis P.A. Daum menyadari pentingnya peran pers Hindia Belanda dalam perkembangan sosial, politik, dan budaya di Hindia Belanda. Tidak hanya sebagai pengantar berita dan informasi, tetapi juga sebagai komentator, pembentuk opini, dan kadang-kadang kritikus tajam bagi pemerintah kolonial.
"...kami memakai pena untuk menceritakan penderitaan penduduk yang diakibatkan oleh sistem pemerintahan kolonial yang bobrok dan karena itulah mereka menderita.", P.A.Daum[1]
Pada puncak kariernya sebagai jurnalis dan novelis, masalah terberat yang dihadapi P.A. Daum dengan otoritas kolonial terjadi tahun 1885 di Semarang, ketika ia menjabat sebagai kepala editor Het Indisch Vaderland. Setelah tuntutan hukum diajukan untuk melawannya, ia kehilangan pekerjaan dan kantor surat kabarnya, lalu pindah ke Batavia. Di sana ia mendirikan Bataviaasch Nieuwsblad bersama D.A. Hooyer, direktur Kolff Publishing. Edisi pertama terbit tanggal 1 Desember 1885. Pada tahun 1887, Daum masih dikenakan tuduhan atas konfliknya dengan otoritas di Semarang dan dipenjara di Batavia selama sebulan. Ia tetap mengelola surat kabar miliknya dari penjara.[2]
Kepala-kepala editor terakhir seperti J.F. Scheltema (1900) juga berselisih dengan otoritas kolonial. Scheltema juga dipenjara selama satu bulan karena mengkritik keras pejabat-pejabat senior, jasa pos, dan kebijakan opium.[3]
Inovasi
P.A. Daum mengembangkan formula baru untuk memaksimalkan target pembaca surat kabarnya. Dengan menggunakan kertas yang lebih kecil daripada biasanya (i.e. 26 x 40 cm), ia mampu menurunkan harganya menjadi separuh harga aslinya dan mencapai segmen masyarakat berbahasa Belanda yang kurang elit dan kebanyakan terdiri dari warga Indo-Eropa.[4] Dalam setengah tahun pertamanya setelah didirikan, surat kabar ini mendapat banyak pelanggan dan pesaing. Fitur penting lainnya yang membuat koran Daum dikenal adalah novel-novel populernya yang diterbitkan dalam bentuk seri mingguan. Karena kesuksesannya secara komersial dan tulisan-tulisan serialnya, P.A. Daum baru diakui sebagai salah satu tokoh sastra Belanda paling berpengaruh setelah ia meninggal dunia.
Editor dan jurnalis ternama
Setelah sekian tahun menganggur karena latar belakang Indo-Eurasianya, anak buah Daum, Karel Zaalberg, secara resmi menjadi kepala editor pada tahun 1908 dan melanjutkan strategi progresif yang sukses pada perusahaan ini. Wakil kepalanya adalah Ernest Douwes Dekker. Keduanya kelak menjadi sahabat sekaligus tokoh politik berpengaruh dan progresif di Hindia Belanda. Dekker mendirikan surat kabarnya sendiri (1911) dan partai politik Indische Partij (1912), sementara Zaalberg mendirikan aliansi Indo dengan nama Indo Europeesch Verbond (1918) dan menjadi anggota Volksraad.
Tokoh penting lainnya yang awalnya bekerja di surat kabar ini tahun 1910 adalah Dominique Willem Berretty. Pada tahun 1918, Berretty merintis perusahaan ANETA, kantor berita Hindia Belanda dan pendahulu ANTARA. Ia membuat monopoli berita dan menjadi salah satu orang terkaya di koloni ini. Sampai sekarang ia dikenal sebagai pemilik rumah pribadi Villa Isola di Bandung.
Sejak 1937 sampai 1940, penulis E. du Perron, teman intelek-intelek berpengaruh seperti Andre Malraux dan Sutan Sjahrir, adalah editor sastra di surat kabar ini. Mulai 1936 sampai 1942, Tjalie Robinson menjadi jurnalis dan editor olahraga di sini. Pada masa diaspora Indo pasca Perang Dunia II, Tjalie Robinson, pendiri Tong Tong Fair, menjadi tokoh terpenting di kalangan masyarakat Indo.
Victor Ido (1869–1948), penulis, musisi, dan pengarang lakon, dulunya merupakan editor seni saat koran ini dipimpin Daum.
Tahun-tahun terakhir
Ketika depresi ekonomi 1930-an terjadi, surat kabar semakin konservatif. Saat pendudukan Jepang, semua koran berbahasa Belanda tidak boleh terbit. Tempat penerbitannya masih mencetak terbitan-terbitan berbahasa Indonesia yang pro-Jepang. Pasca perang, sedikitnya kertas dan berkurangnya pembaca Belanda menjadi alasan hanya satu koran Batavia yang maish bertahan. Per 1 Juni 1946, koran tersebut diterbitkan oleh gabungan tiga kantor berita metropolitan pra-perang, termasuk Bataviaasch Nieuwsblad. Pada tahun 1949, surat kabar ini menjadi independen lagi (1950–1955), tetapi dengan nama Nieuwsblad voor Indonesie (Surat Kabar untuk Indonesia). Setelah merger bulan Desember 1957, Bataviaasch Nieuwsblad dibubarkan.[5][6]
^Nieuwenhuys R. Oost-Indische spiegel. Wat Nederlandse schrijvers en dichters over Indonesië hebben geschreven vanaf de eerste jaren der Compagnie tot op heden.(Publisher: Querido, Amsterdam, 1978) P.240 [1]
^Termorshuizen G. (2001) Journalisten en heethoofden. Een geschiedenis van de Indisch-Nederlandse dagbladpers. Amsterdam/Leiden. P.312.
^Termorshuizen G. (2001) Journalisten en heethoofden. Een geschiedenis van de Indisch-Nederlandse dagbladpers. Amsterdam/Leiden. P.589.
^Termorshuizen G. (2001) Journalisten en heethoofden. Een geschiedenis van de Indisch-Nederlandse dagbladpers. Amsterdam/Leiden. P.575.
^Sens A. "Terug naar patria en de bladen laten verrekken", (in: Bosma, 2005) P.67 and 77-78