PT Astra International Tbk. (IDX: ASII) adalah sebuah konglomeratmultinasional[4] yang berkantor pusat di Jakarta, Indonesia. Perusahaan ini didirikan pada tahun 1957 dengan nama PT Astra International, Inc. oleh Tjia Kian Tie, Liem Pen Hong, Parulian Nainggolan, Datu Parulas Nainggolan dan Saut Guru Pamosik Nainggolan.[5] Pada tahun 1990, perseroan ini mengubah namanya menjadi PT Astra International Tbk,[6] setelah resmi melantai di Bursa Efek Jakarta pada tanggal 4 April1990. Per 30 Juni 2018, mayoritas saham Astra dimiliki oleh Jardine Cycle & Carriage Ltd. (konglomerasi milik keluarga Keswick dari Skotlandia) sebesar 50,11%.[6]
Perseroan berdomisili di Jakarta, Indonesia, dengan kantor pusat berada di Menara Astra, Jalan Jenderal Sudirman setelah sebelumnya menempati Gedung AMDI yang berada di Jalan Gaya Motor Raya No. 8, Sunter II, Jakarta.[6] Ruang lingkup kegiatan Perseroan seperti yang tertuang dalam anggaran dasarnya adalah perdagangan umum, perindustrian, jasa pertambangan, pengangkutan, pertanian, pembangunan dan jasa konsultasi. Ruang lingkup kegiatan utama entitas anak meliputi perakitan dan penyaluran mobil, sepeda motor dengan suku cadangnya, penjualan dan penyewaan alat berat, pertambangan dan jasa terkait, pengembangan perkebunan, jasa keuangan, infrastruktur dan teknologi informasi.[6]
Sampai dengan Desember 2017, Grup Astra memperkerjakan lebih dari 218.000 karyawan di 212 perusahaan, anak perusahaan, dan entitas asosiasi.[7] Jumlah ini bertumbuh hingga 221.719 per 30 Juni 2018.[6]
Sejarah
Astra International pada awalnya didirikan oleh Tjia Kian Liong (William Soerjadjaja), Tjia Kin Joe (Benyamin), dan Liem Peng Hong pada tahun 1950-an.[8] Perusahaan ini pada awalnya menempati sebuah toko di Jalan Sabang no. 36A, Jakarta. Nama Astra sendiri diusulkan oleh Kian Tie, adik Kian Liong, dalam bahasa Latin yang berarti bintang.[9] Ketiga pendirinya kemudian mendaftarkan nama Astra International Inc. ke notaris Sie Khwan Djioe pada tanggal 20 Februari1957 dengan modal sejumlah 2,5 juta rupiah.[9]
Pada awal berdirinya, perusahaan ini menjadi distributor dan importir limun merek Prim Club Kornet CIP. Selain produk impor, ada juga produk lokal dari Bandung seperti pasta gigi Fresh O Dent dan pasta gigi Odol Dent. Bisnis usahanya yang lain meliputi pengiriman fosfat alumunium, bohlam lampu, dan mengekspor kopra serta minyak goreng.[9] Namun belakangan, hanya Kian Liong yang mengelola Astra, karena Kian Tie bekerja di Palembang sementara Pang Hong dengan bisnisnya yang lain. Saham-saham perusahaan pun seluruhnya beralih ke tangan Kian Liong pada 1961.[9] Setelah itu, Astra memasuki babak baru. Pada masa-masa sulit Demokrasi Terpimpin orde lama Presiden Soekarno, antara 1962 hingga 1964, Astra sempat menjadi pemasok lokal proyek pembangunan Waduk Jatiluhur.[9]
Memasuki tahun 1965, di tengah situasi ekonomi yang buruk, Kian Liong mencoba mempertahankan perusahaannya agar bisa tetap hidup. Ia kemudian memindahkan kantornya dari Jalan Sabang ke Jalan Juanda III no 8.[9] Pada tahun 1966, Astra menjadi importir 80 ribu ton aspal dari Marubeni, Jepang untuk membangun jalan. Perusahaan ini juga mendapat pinjaman dana dari USAID sebesar $2,9 juta untuk mengimpor apapun, termasuk truk-truk dari Amerika Serikat. Ia mengimpor 800 unit truk merek Chevrolet buatan General Motors Co. dan menjualnya kepada Pemerintah.[8] Sayangnya, Astra tak bisa mengimpor lebih banyak lagi truk-truk dari General Motors karena ia dianggap melanggar dan tidak memahami ketentuan USAID yang melarang perusahaan untuk memasok ke pemerintahan.
Pada tahun 1969, Astra mengalihkan usahanya ke Jepang. Hideo Kamio, salah seorang mantan manager di Gaya Motor sewaktu zaman Jepang, juga bersikeras truk-truk Toyota yang akan masuk Indonesia harus dirakit di Gaya Motor. Saat itu, Gaya Motor sudah dipegang oleh William. Maka, Astra melalui PT Gaya Motor pun menjadi agen tunggal Toyota.[10]
Mulai tahun 1970, Astra secara perlahan-lahan ditunjuk menjadi distributor dari berbagai hasil produksi Jepang, di antaranya menjadi distributor tunggal sepeda motor Honda serta distributor alat-alat perkantoran produksi Fuji Xerox di Indonesia. Untuk mendukung produksi di Indonesia, Astra juga mendirikan PT Federal Motor (kini PT Astra Honda Motor) untuk menjadi pabrik perakitan sepeda motor Honda di Indonesia pada tahun 1971.[11]
Astra memasuki bisnis perdagangan dan penyewaan alat berat melalui pendirian PT United Tractors pada tahun 1972. Sementara itu, Astra juga ditunjuk menjadi agen tunggal pemasaran produk-produk Daihatsu pada tahun 1973, hingga mendirikan PT Daihatsu Indonesia (kini PT Astra Daihatsu Motor) pada tahun 1978.[11]
Lebih lanjut dari penunjukkan Astra sebagai distributor kendaraan bermotor Toyota, Astra kemduian mendirikan ventura bersama dengan Toyota Motor Corporation di Jepang, yaitu perusahaan PT Toyota-Astra Motor (TAM) pada tahun 1971, yang menjadi perusahaan distribusi kendaraan bermerek Toyota di Indonesia. TAM kemudian meluncurkan mobil Toyota Kijang pertama pada tahun 1977, salah satu tipe mobil keluarga pionir di Indonesia.[11]
Pada tahun 1990, Astra melalukan penawaran umum perdana atas 30 juta lembar sahamnya di Bursa Efek Jakarta (kini Bursa Efek Indonesia). Kepemilikan keluarga Soeryadjaya dalam perusahaan miliknya ini, sayangnya tidak berlangsung lama pasca-IPO. Beberapa saat setelah IPO, bisnis keuangan anak Wiliam, Edward Soeryadjaya bernama Bank Summa, mengalami krisis yang hebat akibat terlalu banyak meminjamkan kredit pada pihak berelasi dan properti, sehingga kredit macetnya mencapai 70%. Pada tahun 1992, kredit macet Bank Summa sudah mencapai Rp 1,2 triliun dan utangnya sebesar Rp 500 miliar (dari aset Rp 1,6 triliun).[12] Akhirnya, Summa pun tidak terselamatkan dan dilikuidasi pemerintah pada 14 Desember 1992.[13]
Meskipun Summa adalah bisnis anaknya, justru William yang tampil di depan memenuhi kewajibannya;[14] ia menjual seluruh saham Astra (100 juta lembar) milik keluarganya untuk menyelesaikan dana nasabah dan berbagai masalah eks-Summa. Saham Astra ia jual kepada konsorsium yang terdiri dari badan-badan pemerintah dan sejumlah konglomerat, seperti Eka Tjipta Widjaja, Prajogo Pangestu, Bob Hasan dan Salim Group pada 15 Januari 1993, yang kemudian bersama-sama publik menjadi pengendali baru Astra.[15][16] Di tahun 1996, hampir saja Astra jatuh ke tangan raja kretek Putera Sampoerna yang saat itu membeli 15,8% saham di perusahaan ini dan hampir dinaikkannya menjadi 25%, namun ditolak oleh pemerintah, elit yang dekat dengan Cendana dan pemegang saham perusahaan Putera, HM Sampoerna.[16] Putera akhirnya melepas sahamnya di tahun 1997 ke tangan Bob (Nusamba).[17]
Kepemilikan oleh para konglomerat itu tetap berlangsung hingga 1998, saat mereka semua diterjang krisis moneter hebat yang melanda Indonesia. Banyak saham Astra seperti dari Salim, Prajogo dan Bob Hasan diserahkan ke BPPN, mencapai 40% dari total saham Astra.[18] Tidak lama setelah penyerahan saham itu, pada 1999 pemerintah segera memerintahkan BPPN untuk menjual sahamnya.[19] Penjualan itu dilakukan dengan skema tender, yang diikuti oleh beberapa calon seperti Jardine Cycle & Carriage (bersama Batavia Investment Management Ltd., Lazard Asia Fund, PT Bhakti Investama dan Government of Singapore Investment Corp), Gilbert Global Equity Partners, dan Newbridge Capital (bersama Chase Asia Equity Partners, PT Nusantara Investment Fund, Batavia Investment Fund dan PT Saratoga Investama Sedaya).[20] Namun, pada akhirnya, Newbridge yang sudah menggandeng perusahaan anak William (Saratoga) gagal dan Jardine menjadi pemenang pada 25 Maret 2000 senilai US$ 506 juta,[21] yang menandai berubahnya kepemilikan Astra ke tangan asing sampai saat ini.
Pada tahun 2004, Astra bekerja sama dengan Standard Chartered Bank melakukan pengambilalihan atas Bank Permata, sebuah bank hasil merger dari lima bank yang berada di bawah pengawasan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), yaitu PT Bank Bali Tbk, PT Bank Universal Tbk (yang juga pernah dimiliki oleh Astra), PT Bank Prima Express, PT Bank Artamedia, dan PT Bank Patriot. Kepemilikan gabungan Astra bersama dengan Standard Chartered Bank mencapai 89,12% sejak 2006 hingga 2020.[22]
Saat ini, sebanyak 50,11 persen saham Astra International dikuasai oleh Jardine Cycle & Carriage Limited, sebuah perusahaan yang berbasis di Singapura.[6]
Pada tahun 2016, Astra meluncurkan lini bisnisnya yang ketujuh, yaitu lini bisnis properti.[23]
Anak usaha
Hingga tahun 2023, berikut ini anak-anak usaha dari Astra Internasional:[3][24]