Angkatan Perang Ratu Adil

Bendera Angkatan Perang Ratu Adil
Lambang Angkatan Perang Ratu Adil

Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) adalah milisi pro-Belanda dan tentara swasta yang dibentuk setelah Revolusi Nasional Indonesia. Didirikan oleh mantan Kapten KNIL Raymond Westerling setelah demobilisasi pada tanggal 15 Januari 1949.[1] Nama milisi ini diambil dari sebuah bagian dari Kitab Ramalan Jayabaya pada abad pertengahan yang menubuatkan kedatangan Ratu Adil yang berasal dari keturunan Turki dan datang untuk menyelamatkan rakyat Jawa serta menegakkan perdamaian dan keadilan. Dengan latar belakang keturunan Turki, Westerling menggunakan mitos Ratu Adil untuk menarik simpati masyarakat.[2]

Westerling mengaku berjuang untuk mempertahankan negara-negara bagian dalam Republik Indonesia Serikat melawan apa yang ia anggap sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didominasi oleh orang Jawa yang dipimpin oleh Soekarno dan Hatta.[3] APRA direkrut dari beberapa faksi anti-Republik termasuk mantan gerilyawan Republik, pejuan Darul Islam, Ambon, Melayu, Minahasa, KNIL yang telah didemobilisasi, Korps Speciale Troepen, dan Angkatan Darat Kerajaan Belanda.[4] Pada tahun 1950, APRA telah berevolusi dari serangkaian unit pertahanan diri di pedesaan menjadi pasukan tempur berkekuatan 2.000 orang.[5] Tidak senang dengan pengaruh pemerintahan Soekarno yang semakin besar, Westerling bersekongkol dengan Sultan Hamid II dari Pontianak yang federalis untuk melancarkan kudeta pada Januari 1950.[6]

Peristiwa kudeta Angkatan Perang Ratu Adil

Markas Divisi Siliwangi yang diduduki APRA pada Januari 1950 di Bandung

Tidak senang dengan pertumbuhan pengaruh pemerintahan Soekarno, Westerling bersekongkol dengan Sultan Pontianak Sultan Hamid II yang berhaluan federalis untuk meluncurkan kudeta pada bulan Januari 1950.[7]

Pada tanggal 23 Januari 1950, APRA meluncurkan kudeta menentang pemerintah Republik Indonesia. Walaupun milisi ini berhasil untuk sementara menduduki Bandung, mereka gagal untuk menduduki Jakarta dan Blora. Mereka telah merencanakan untuk menggulingkan Kabinet RIS dan membunuh beberapa tokoh Republik terkemuka termasuk Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwana IX dan Sekretaris-Jenderal Ali Budiardjo. Kegagalan kudeta ini menyebabkan adanya demoralisasi anggota milisi terhadap Westerling dan terpaksa melarikan diri ke Belanda. Tanpa pemimpin yang kuat, APRA akhirnya berhenti berfungsi pada Februari 1950.[7] Tindakan APRA tersebut pada akhirnya menyebabkan penahanan Sultan Hamid II dan justru mempercepat pembubaran Republik Indonesia Serikat pada tanggal 17 Agustus 1950, mengubah Indonesia menjadi negara kesatuan yang didominasi oleh pemerintahan pusat di Jakarta.[8]

Referensi

  1. ^ Westerling (1952), hal 146
  2. ^ Westerling (1952), hal 154-56
  3. ^ Westerling (1952), hal 151
  4. ^ Westerling (1952), hal 152
  5. ^ Westerling (1952), hal 153
  6. ^ Kahin 1952, hlm. 454-56.
  7. ^ a b Kahin (1952), hal 454-56
  8. ^ Kahin (1952), p. 456

Rujukan