Setelah ditaklukan oleh Turki, Aljir menjadi provinsi Kesultanan Utsmaniyah. Wilayah ini diperintah oleh wali Sultan Utsmaniyah yang bergelar Beylerbey (1518–70), Pacha (1570–1659), Agha (1659–71), dan kemudian Dey (1671–1830). Beylerbey, Pacha, dan Aghas diangkat oleh Sultan Utsmaniyah hingga tahun 1671. Setelah dilancarkannya kudeta pada tahun tersebut, wilayah ini memperoleh otonomi yang besar dan dipimpin oleh seorang dey yang dipilih oleh milisi atau kapten Utsmaniyah.[7][8] Semenjak tahun 1718, dey dipilih oleh Divan, sebuah majelis yang mewakili kepentingan kapten dan yanisari.
Demografi
Pada tahun 1808, terdapat sekitar 3 juta orang di Eyalet Aljir, dengan 10.000 di antaranya adalah orang Turki (termasuk orang Kurdi, Yunani, dan Albania)[9]). Terdapat pula 5.000 orang Kouloughli (dari bahasa Turki kul oğlu, "anak budak-budak (Yanisari)", contohnya hasil kawin campur laki-laki Turki dan perempuan lokal).[10] Pada tahun 1830, terdapat lebih dari 17.000 orang Yahudi di eyalet ini.[11]
^Saliha Belmessous, Assimilation and Empire: Uniformity in French and British Colonies, 1541-1954, Oxford University Press, 2013 (ISBN 978-0-19-957916-7), p.119:
When the French turned their eyes to the kingdom of Algiers in 1830, the region had been under Ottoman rule since 1516. The Regency of Algiers was a province of the Ottoman empire under the authority of the dey of Algiers, who had acquired a large degree of autonomy from the sultan and who was chosen by Janissaries, the Ottoman militia of Algiers.
^Jamil M. Abun-Nasr, A History of the Maghrib in the Islamic Period, Cambridge University Press, 1987 (ISBN 978-0-521-33767-0), p.160:
[In 1671] Ottoman Algeria became a military republic, ruled in the name of the Ottoman sultan by officers chosen by and in the interest of the Ujaq.