Yeremia (Ibrani:יִרְמְיָה, Ibrani Modern:Yirməyāhū, Arab إرميا) adalah salah satu nabi perjanjian lama yang berkarya sebelum bangsa Israel (Kerajaan Yehuda) ditaklukkan dan penduduknya dibuang ke Babel dan merupakan penulis atau narasumber Kitab Yeremia dalam Alkitab Ibrani dan Alkitab Kristen.[1] Yeremia lahir di Anatot dan hidup sekitar tahun 645 SM, tidak lama setelah pemerintahan raja Manasye berakhir.[1][2] Ia adalah anak imam Hilkia dari Anatot.[3][4] Meskipun tidak ada bukti yang secara langsung mendukungnya, Yeremia diduga adalah keturunan Abyatar, imam raja Daud, yang dipecat oleh raja Salomo dari jabatan imamnya di Yerusalem dan diasingkan ke tanah miliknya di kota Anatot (bnd. 1 Raja-raja 2:26-27).[2][5] Menurut keterangan Alkitab (Yeremia 1:6), Yeremia dipanggil sebagai nabi ketika ia masih muda dan belum pandai bicara, yaitu pada masa pemerintahan raja Yosia, tahun 627 SM.[1][2][3] Yeremia melakukan tugasnya sebagai nabi selama pemerintahan lima raja Yehuda, yaitu pada masa raja Yosia, Yoahas, Yoyakim, Yoyakhin dan Zedekia.[3][6]
Pada masa Yeremia mulai berkarya, kerajaan Asyur mengalami penurunan kekuasaan.[1] Keadaan ini dimanfaatkan oleh Yosia, raja Yehuda pada masa itu untuk melakukan pemberontakan.[1] Yosia juga menggunakan kesempatan tersebut dengan membangun pusat-pusat religius untuk umat Israel.[1] Setelah Yosia wafat pada tahun 609 SM, Mesir menguasai Yehuda dan menempatkan Yoyakim menjadi raja menggantikan Yoahas.[1] Pada tahun 605 SM, Nebukadnezar mengalahkan Mesir pada perang di Karkemis dan mengusir Mesir dari Yehuda.[1] Ketika Babel melemah pada tahun 599 SM, Yoyakim raja Yehuda memberontak melawan Babel.[1] Babel kemudian menyerang Yerusalem dan menaklukkan kota itu pada tahun 598 SM.[1] Setelah Yoyakim wafat, Yoyakhin dinobatkan menjadi raja, namun Nebukadnezar membuang raja muda ini ke Babel dan mengangkat Zedekia menjadi raja.[1] Pada tahun 589 SM, Zedekia mengadakan perlawanan namun tetap kalah dan menyebabkan kota dan Kenisah (Bait Allah) dihancurkan oleh orang-orang Babel.[1] Secara garis besar, pada masa baktinya Yeremia menentang dua kejahatan pada zamannya, yaitu penyembahan berhala dan ketidakadilan.[1] Ia menentang nubuat para nabi-nabi palsu.[4] Yeremia juga peka terhadap isu-isu kemanusiaan.[4] Yeremia merupakan salah satu nabi yang tidak hanya menyampaikan nubuat atas orang-orang Yehuda, tetapi ia juga mengalami apa yang ia sampaikan. Pesan yang disampaikan melalui pengalaman hidupnya itu dipahami sebagai bentuk dari tindak kenabian.[7]
Yeremia adalah salah satu nabi yang masa pelayanannya cukup panjang. Dia hidup pada zaman 6 raja Yehuda, dan menyaksikan sendiri tiga kali penyerbuan Babel ke Yerusalem hingga kejatuhan kota itu tahun 589 SM. Setelah itu, walaupun tidak dibawa ke pembuangan ke Babel, dia dipaksa oleh orang-orang sebangsanya untuk mengungsi ke Mesir, meskipun ia memperingatkan mereka untuk tidak melakukannya karena melawan kehendak Allah.
1) invasi bangsa Scythia ke Yehuda, 2) kehancuran Babilonia, and 3) hari Tuhan yang akan datang. Bangsa Media dari timur laut mengalahkan bangsa Scythia dan mulai menekan Asyur
Pada masa ini, penduduk Yehuda masih diwarnai dengan kebiasaan kekafiran sebagai dampak dari kebiasaan penduduk Yehuda pada masa pemerintahan Manasye.[2] Penduduk Yehuda melakukan ibadah kepada baal, dewa kesuburan orang-orang Kanaan, serta berhala-berhala.[2] Selain itu, perlacuran bakti, korban anak-anak, dan ketidakadilan sosial masih lazim di antara penduduk Yehuda.[2] Dalam kondisi demikian, Yeremia bertugas mengingatkan orang-orang Yehuda itu tentang karya kasih Tuhan terhadap mereka sepanjang sejarah dan mengritik dengan keras tindakan mereka sebagai bentuk ketidaksetiaan mereka kepada Tuhan.[2] Yeremia meyakinkan mereka bahwa Tuhan pasti akan menjatuhkan hukumannya atas mereka dan mereka akan mengalami kecelakaan yang berasal dari musuh yang disebut sebagai musuh "dari utara".[2] Sekaligus, Ia mendorong dan mengarahkan orang-orang Yehuda untuk bertobat.[2] Hal ini ditunjukkan dengan tindakan raja Yosia melakukan reformasi melalui pembangunan Bait Suci.[2] Selain itu, muncul adanya kepercayaan bahwa Bait Suci itu akan menjamin perlindungan melawan semua musuh.[2]
Pada masa ini, kondisi pemerintahaan Yoyakim berada dalam ancaman orang-orang Babel.[2] Sehingga Yoyakim tetap taat kepada Mesir pada kepemimpinan Firaun Nekho II.[2] Ia juga menentang untuk bertobat dengan membakar gulungan kitab nubuat Yeremia.[2] Selain itu reformasi yang diperjuangkan Yosia mengalami kegagalan.[2] Sehingga, orang-orang Yehuda kembali memuja dewa-dewa kesuburan, bahkan mereka melakukan kebobrokan moral dan ketidakadilan sosial.[2] Pada kondisi demikian, menurut Alkitab (Yeremia 22:13-19), Yeremia menentang raja Yoyakim dengan sangat keras dan meyakinkan orang-orang Yehuda bahwa mereka akan takluk dibawah kekuasaan bangsa Babel.[2]
Pada masa ini, pernyataan Yeremia dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu: pemberontakan melawan Babel (594 SM), pembuangan raja Yoyakhin ke Babel (587 SM), dan pemberontakan melawan Babel yang menyebabkan penaklukan kota Yerusalem (587 SM).[2] Dalam kondisi demikian, Yeremia terus menyuarakan agar orang-orang Yehuda bertobat, dan jika tidak, maka mereka akan takluk pada Babel.[2] pernyataan Yeremia yang keras ini membuatnya harus ditangkap dan dipenjarakan, sebab ada banyak orang yang melawannya.[2] Di dalam penjara, ia membeli ladang untuk kebun anggur sebagai tanda bahwa Yehuda akan dipulihkan.[2]
Setelah peristiwa takluknya Yerusalem dan Gedalya menjabat gubernur Mizpa, Yeremia belum menyatakan pesan apapun.[2] Namun, setelah Gedalya mati, semua orang meminta nasihat dari Yeremia.[2] Yeremia mengingatkan mereka untuk tetap tinggal di Yerusalem dan tidak berpergian ke tanah lain.[2] Tetapi orang-orang Yehuda tetap pergi ke Mesir dan hal ini digambarkan oleh Yeremia sebagai bentuk penolakan terhadap Perintah Allah.[2]
Ada beberapa pandangan mengenai tokoh Yeremia dalam sejarah, yaitu: Hieronimus dan Tertulianus meyakini bahwa Yeremia dirajam di Mesir oleh orang-orang Yahudi; Ia dan sekretarisnya, Baruk meninggal setelah kembali dari pembuangan; Ia menyembunyikan peti perjanjian Tuhan di dekat kaki gunung Nebo, pada saat Bait Allah dihancurkan; Orang Yahudi meyakini bahwa Ia akan datang kembali ke dunia sebelum kedatangan Mesias.[5]
Lokasi Pengunjung: 44.220.249.141