Kitab Udāna (disingkat Ud) adalah kitab suci Buddhisme, bagian dari Tripitaka Pali milik Buddhisme Theravāda. Kitab ini merupakan bagian dari Khuddaka Nikāya dalam Sutta Piṭaka. Judulnya dapat diterjemahkan sebagai "seruan luhur". Kitab ini mencakup 80 seruan-seruan luhur, terutama dalam bentuk syair, yang masing-masing didahului oleh narasi yang memberikan konteks tempat Sang Buddha mengucapkannya.
Cerita "Orang-orang buta dan seekor gajah" juga ada di kitab Udāna, dengan nama Tittha Sutta (Ud 6.4).[1]
Kitab ini merupakan salah satu kitab suci Buddhisme yang paling awal.[2] Analisis terkini menyimpulkan bahwa kitab-kitab sutta Pali, termasuk Udāna, sebagian besar telah ditetapkan dalam bentuknya saat ini, dengan hanya sedikit perbedaan dari teks modern, sejak abad pertama SM.[3]
Hinüber mengidentifikasi jenis diskursus dalam Udāna (meskipun tidak harus sebagaimana koleksi kitabnya dikenali saat ini) sebagai bagian dari navaṅga pra-kanonik (Pali untuk "sembilan kali lipat") yang mengklasifikasikan diskursus menurut bentuk dan gayanya, seperti geyya (campuran prosa dan syair), gāthā (bait empat baris), udāna (ucapan atau seruan), dan jātaka (kisah kelahiran).[4]
Kitab Udāna terdiri dari delapan bab (vagga) yang masing-masing berisi sepuluh diskursus. Judul-judul babnya adalah:
Setiap diskursus mencakup bagian prosa yang diikuti oleh sebuah syair. Di akhir setiap bagian prosa:
Atha kho bhagavā etam-atthaṃ viditvā tāyaṃ velāyaṃ imaṃ udānaṃ udānesi:[5]
Kemudian Sang Bhagavā, memahami pentingnya hal ini, pada kesempatan itu mengucapkan ucapan agung (udāna) ini:[6]
Dari frasa "seruan luhur" atau "ucapan agung" (udāna) itulah nama koleksi ini berasal.
Untuk memenuhi sila pertama Pancasila Indonesia, maka pengikut aliran Buddhisme Theravāda di Indonesia menggunakan penjelasan Nirwana sebagaimana dijelaskan dalam Tatiyanibbānapaṭisaṁyutta atau Tatiyanibbāna Sutta, Udāna 8.3, sebagai interpretasi untuk Ketuhanan Yang Maha Esa.[7] Nirwana dijelaskan sebagai "ajātaṁ abhūtaṁ akataṁ asaṅkhataṁ" dengan makna:[8]
Dalam Tatiyanibbānapaṭisaṁyutta Sutta, Udāna 8.3:[8]
... Atthi, bhikkhave, ajātaṁ abhūtaṁ akataṁ asaṅkhataṁ. No cetaṁ, bhikkhave, abhavissa ajātaṁ abhūtaṁ akataṁ asaṅkhataṁ, nayidha jātassa bhūtassa katassa saṅkhatassa nissaraṇaṁ paññāyetha. Yasmā ca kho, bhikkhave, atthi ajātaṁ abhūtaṁ akataṁ asaṅkhataṁ, tasmā jātassa bhūtassa katassa saṅkhatassa nissaraṇaṁ paññāyatī”ti. ...
... Ada, para bhikkhu, yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta, tidak terkondisi. Jika, para bhikkhu, tidak ada yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta, tidak terkondisi, maka kalian tidak mungkin mengetahui jalan membebaskan diri dari yang dilahirkan, yang menjelma, yang diciptakan, dan yang terkondisi. Tetapi, karena ada yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta, tidak terkondisi, maka kalian dapat mengetahui jalan membebaskan diri dari yang dilahirkan, yang menjelma, yang diciptakan, dan yang terkondisi. ...
Dalam literatur Buddhisme, sekitar seperempat bagian prosa Udāna paralel dengan teks di tempat lain dalam Tripitaka Pali, khususnya dalam Vinaya Piṭaka. Selain itu, berkenaan dengan literatur Buddhisme Tibet, von Hinüber berpendapat bahwa stuktur kitab Udāna merupakan sumber utama dari struktur kitab Udānavarga dalam Tripitaka versi Sanskerta milik aliran lain, yang di dalamnya kemudian ditambahkan syair-syair dari Dhammapada juga.[9]
Dalam teks-teks nonbuddhis, beberapa struktur kitab yang mirip dengan struktur kitab Udāna dapat ditemukan dalam Upanisad Wedanta dan kitab-kitab Jainisme.[10]
|url-status=
Lokasi Pengunjung: 3.138.135.56