Talang Batu Uncal


Talang Batu Uncal adalah salah satu pemukiman komunitas Suku Bangsa Ogan yang tersebar di daerah Lampung Utara dan yang berasal dari Desa Pengandonan, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Provinsi Sumatera Selatan. Kata “Talang” dalam penyebutan pemukiman tersebut disebut oleh Suku Bangsa Ogan sesuai dengan sistem klasifikasi mereka terhadap bentuk pemukiman.[1] Talang Batu Uncal tediri atas dua bagian, yaitu Talang Batu Uncal 1 dan Talang Batu Uncal 2. Talang Batu Uncal 2 dibangun oleh sebagian Suku Bangsa Ogan sekitar tahun 1980 yang lokasinya berada sekitar 3,5 km di sebelah barat (di seberang Sungai Arum) Batu Uncal 1. Dalam perkembangannya, pada tahun 1989, Talang Batu Uncal 2 beralih nama menjadi Talang Dukuh Rejo dimana penduduknya kemudian didominasi oleh Suku Bangsa Ogan, Semende, dan Jawa.

Sejarah

Menurut monografi Desa Merambung, perkampungan Talang Batu Uncal didirikan pada tahun 1933. Sementara menurut salah satu warga yang dahulu merintis pemukiman ini, Talang Batu Uncal telah ada pada tahun 1930. Penuturan tersebut diberikan oleh Wak Sur yang lahir sekitar tahun 1923 dan memasuki Sekolah Rakyat pada usia tujuh tahun. Sehingga, dapat diperkirakan bahwa Talang Batu Uncal telah ada sejak tahun 1930. Pendirian pemukiman itu tidak terlepas dari kedatangan empat orang laki-laki dewasa beserta seorang anak. Mereka adalah Nurik, Sarinang, Siajir, dan Sri beserta anaknya Wak Sur. Kedatangan mereka ke Talang Batu Uncal didasari oleh usaha mereka untik memperbaiki kehidupan agar menjadi lebih baik. Hal itu juga ditunjukan untuk mempertontonkan gengsi atau prestise individu atau kelompok kepada orang lain. Adu gengsi tersebut ditunjukkan dalam bentuk menunjukan keberhasilan untuk memperbaiki masa depan anak-anak agar menjadi lebih baik dari orang tuanya. Buktinya, mereka melakukan “pameran” harta benda (material) seperti rumah, perlengkapan rumah tangga, dan lain sebagainya.[2]

Mula-mula, keempat migran tersebut menaiki mobil ke Baturaja yang berjarak sekitar 45 km kea rah timur, kemudian dari Baturaja mereka naik kereta api ke Kotabumi yang berjarak sekitar 201 km ke arah. Setelahnya, mereka menaiki mobil lagi kea rah barat sekitar 20 km menuju Ogan Lima yang sebelumnya telah menjadi sebuah dusun dengan pasar tradisional yang cukup ramai. Di Ogan Lima tersebut, keempat migran mencari informasi mengenai lahan-lahan kosong berupa hutan rimba yang belum digarap. Di Ogan Lima tersebut telah menetap migran suku bangsa Ogan dari Desa Pengandonan. Kemudian, migran tersebut memperoleh informasi dari kerabat yang ditumpangi tempat tinggal dan dari kepala marga yang menunjukkan beberapa tempat tertentu.[3]

Dalam hal pemilihan tempat, kelompok migran itu lebih banyak mempertimbangkan area yang masih berupa hutan rimba dan lokasinya dekat dengan sungai. Hutan rimba yang dicari adalah hutan rimba yang tidak bertuan dengan pohon-pohon besar, beragam, dan masih lebat. Mereka juga memberikan pertimbangan bahwa hutan rimba tersebut selama kurun waktu tertentu (tiga sampai lima tahun) tidak akan dikuasai atau dikelola oleh orang lain.

Sementara itu, luas perladangan yang diusahakan, dilakukan tahap demi tahap. Setelah lahan pertama diolah dan ditanami dan mampu menghasilkan sesuatu, maka lahan kedua akan dibuka dan digarap juga. Hal itu berlaku terus menerus sampai olahan dirasakan sudah mencukupi. Akibat keterbatasan tenaga manusia, mereka menggunakan beberapa strategi. Strategi mereka adalah dengan mengajak anggota keluarga atau sanak saudara yang masih ada di kampung. Sanak saudara tersebut diharapkan dapat membantu dan mengolah lahan-lahan yang masih kosong karena pertama kali datang hanyalah orang dewasa yang biasanya bertindak sebagai kepala rumah tangga.

Lebih jauh lagi, berkaitan dengan sungai, mereka biasanya mencari Ayakh gunung atau sungai yang berair deras, berbatu-batu, dan sedikit lubuknya. Sungai yang berair deras dan berbatu-batu dinilai memiliki banyak ikan di dalamnya sehingga cukup untuk memenuhi kebutuhan akan lauk-pauk. Sungai tersebut juga dapat digunakan sebagai tempat mandi berendam, sehingga dicarilah lubuk-lubuk kecil yang ada di bagian aliran sungai tertentu. Sementara itu, atakh beluluk yaitu sungai yang airnya mengalir dengan lambat dan ayah anak yang merupakan cabang-cabang sungai besar menjadi pertimbangan mereka untuk dicari. Pertimbangan tersebut muncul karena dinilai sungai tersebut tidak mampu mencukupi kebutuhan mereka. Pertimbangan itu juga bersifat jangka panjang bahwa daerah itu nantinya diharapkan bisa menjadi lokasi pemuukiman bagi mereka setelah keluar dari daerah asalnya.

Referensi

  1. ^ Hidayah, Zulyani. 1997. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES
  2. ^ Zainal, Arifin. Talang Sistem Klasifikasi dan Pola Adaptasi Suku Bangsa Ogan dalam Proses Pembentukan dan Penataan Pemukiman Baru. Tesis. Program Studi Antropologi Universitas Gadjah Mada
  3. ^ Utomo, Kamto. 1975. Masyarakat Transmigrasi Spontan di Daerah Way Sekampung Lampung. Yogyakarta: UGM Press