Suku Mbaham-Matta (disebut juga Mbaham Matta Wuh, dari gabungan Baham / Patimuni dan Matta / Iha / Kapaur)[2][3] adalah suku yang bermukim di Semenanjung Bomberai, Kabupaten Fak-Fak,[4]Papua Barat, Indonesia. Suku ini terbagi dalam 12 marga yang mendiami dataran pesisir selatan Semenanjung Bomberai. Daerah ini dikenal sebagai tempat penghasil buah pala tomandin Fakfak (Myristica argentea) yang berbeda species dengan buah pala asal Banda. Suku ini tersebar di 9 kecamatan, 5 kelurahan dan 120 kampung.[5] Bahasa yang digunakan adalah bahasa Baham oleh sub-suku Mbaham dan bahasa Iha oleh sub-suku Matta.[6]
Etimologi
Kata Mbaham merujuk pada mite lokal asal muasal manusia dari Pegunungan Mbaham di Semenanjung Onin yang kemudian turun ke wilayah pesisir, kata tersebut memiliki arti "tanah labil di antara bongkahan batu atau tubir, akar papan yang karena tertimbun daun gugur menjadi humus".[7] Nama Iha berasal dari frase ih handin artinya "biji yang bertumbuh"[8] sedangkan nama Matta mengacu pada wilayahnya yaitu pertengahan semenanjung dari kata metua artinya "mereka yang di sebelah bawah arus, mereka yang berada di dataran rendah, mereka yang bersama matahari terbenan" dan terakhir nama Wuh adalah nama penghujung semenanjung. Dahulu terjadi peperangan Hongi antar kelompok suku walau kemudian terjadi kesadaran bahwa mereka ini saling bersaudara berasal dari Gunung Mbaham. Sehingga mereka berdamai dan penyebutan nama suku tersebut diintegrasikan menjadi Mbaham Matta atau yang lebih lengkap Mbaham Matta Wuh.[9][10]
Jenis-jenis alat musik yang digunakan berupa tifa yang disebut titir, gong (lela), ukulele, tia rabana, suling bambu, dan kulit bia. Titir berukuran kecil disebut juga titir tumor (tumyour atau tummour) sedangkan titir berukuran besar disebut titir lakadinding. Irama yang dimainkan adalah tifa Quasidah walaupun bisa dimainkan oleh yang berkeyakinan Kristen Protestan ataupun Katolik, untuk perayaan Natal dan Tahun Baru, pentahbisan imam, penyambutan tamu maupun acara lainnya. Biasanya juga akan diiringi tarian khas etnis Mbaham-Matta seperti tari cakalele mbreh untuk laki-laki yang menggunakan cawat atau totohi/mar neme busana laki-laki sambil memegang parang (qpod qpod), dan tari kriag untuk perempuan yang menggunakan busana martombor.[10]
Pakaian adat
Busana tradisional perempuan pada masa lampau terbuat dari kulit kayu, walau masa kini busana yang digunakan adalah baju kebaya lengan panjang berwarna kuning keemasan atau putih beserta kain batik yang diikat di pinggang. Sedangkan laki-laki dahulu tidak menggunakan baju dan cawat dari kulit kayu. Atribut lain yang digunakan perempuan berupa tas kabari yang diikat dikepala perempuan dengan tali berwarna merah, huwer (sisir rambut), hakma (bulu cendrawasih yang diikat tali merah). Sedangkan atribut laki-laki berupa gelang dari rotan di lengan kiri (sekarang diubah menjadi kain merah dengan bulu cendrawasih atau kasuari), ikat pinggang dari kain merah, tomang (hinyer tini) yang digantung di bahu dibuat dari daun tikar yang diasapi, ikat kepala dari kulit kayu yang diwarnai merah dari darah hewan atau tumbuhan, dan parang yang dahulu pada bagian bawah diikat rambut manusia yang telah dibunuh.[11]
Sasi
Daerah tempat suku ini menetap terkenal dengan kekayaan sumber daya alam di laut dan di darat seperti sagu, pala, rumput laut dan juga aneka ikan semuanya itu menjadi sumber penghidupan suku ini. Untuk menjaga sumber daya alam tersebut, mereka mempraktikkan tradisi sasi.
Satu Tungku Tiga Batu
Selain itu beberapa situs leluhur yang merupakan tempat utama dalam memahami alam dan dinamika sosial serta sarana interaksi kepada leluhur mereka sehari-hari. Meskipun beberapa orang masih tetap memegang kepercayaan kepada nenek moyang mereka, dengan mayoritas beragama Islam, Protestan, dan Katolik. Tetapi kerukunan beragama di tempat mereka ini begitu harmonis.[12] Yang merupakan filosofi "Trimid te wo is teri" (Satu Tungku Tiga Batu),[9] yang menggambarkan untuk memasak tungku diletakkan diatas tiga batu besar. Ketiga batu ini memiliki ukuran sama, kokoh dan kuat serta tahan panas, disusun sehingga bisa menopang kuali atau belanga yang akan digunakan untuk memasak. Tungku adalah sumber kehidupan dan tiga batu tersebut berarti "Ko, on, kno mi mombi du qpona" (Kau, saya, dan dia adalah satu),[9] yang menghubungkan perbedaan baik agama, suku, dan status sosial dalam satu wadah persaudaraan.[13]
Adapun dalam praktiknya, didalam satu keluarga masing masing anak bisa memiliki agama yang berbeda-beda. Apabila didalam satu keluarga terdiri dari bapak, mama, dan sejumlah 5 orang anak. Biasanya anak yang pertama akan diserahkan untuk mengikuti agama Islam, dalam pembentukan iman sebagai seorang muslim. Anak yang kedua akan diserahkan kepada agama Kristen Protestan, dan yang ketiga akan mengikuti ajaran agama Katolik. Anak yang keempat dan kelima akan diulang urutannya, atau boleh juga memilih sesuai kehendak hatinya.[9][14] Praktik keluarga dengan banyak agama masih berlangsung hingga saat ini.
Galeri
Tummour, tifa suku Mbaham Matta
Pengolahan tradisional buah Pala Papua (Myristica argentea).
^Flassy, Don A.L., Ruhukael, Constantinopel, dan Rumbrawer, Frans. 1987. Fonologi Bahasa Baham. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
^Flassy, Don A.L. dan Lisidius Animung. 1992. Struktur Bahasa Iha. Jakarta: Pusat Bahasa dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.