Suku Dayak Tamambaloh

Suku Dayak Tamambaloh adalah masyarakat lokal yang hidup di daerah pedalaman Kecamatan Embaloh Hulu dan Kecamatan Embaloh Hilir, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Masyarakat Dayak Tamambaloh juga biasa dikenal dengan sebutan masyarakat Dayak Embaloh. Istilah lain yang juga sering digunakan untuk menyebut masyarakat ini adalah Banuaka yang diartikan sebagai “orang kita atau orang Dayak”.

Gambaran Umum

Suku Dayak Tamambaloh kebanyakan menetap di Desa Tamao yang menjadi perkampungan asli mereka. Suku Dayak Tamambaloh yang pertama kali memasuki wilayah itu adalah 8 kepala keluarga yang berasal dari kalangan masyarakat biasa atau Suang Sao. Mereka bermukim secara berpindah-pindah sesuai dengan peradaban masyarakat pada saat itu, tetapi masih tetap berada di sekitar Sungai Tamao. Setelah pemukiman tersebut ramai dan terdapat semakin banyak generasi, barulah berdatangan Suku Dayak Tamambaloh dari golongan samagat atau bangsawan ke Tamao. Mereka mulai hidup menetap dan membuat Rumah Betang atau Sao Langke.[1]

Sementara itu, masyarakat Dayak Tamambaloh sangat bergantung pada ssumber daya alam, terutama sumber daya hutan untuk keperluan hidupnya. Mereka biasanya melakukan sistem pengelolaan sumberdaya alam di Desa Tamao dengan sistem Toan Karapah. Sistem tersebut merupakan hutan berawa yang biasanya menjadi tempat masyarakat untuk mengambil hasil hutan seperti rotan, damar, obat tradisional, dan beramu untuk mencari bahan rumah serta berburu hewan buruan di dalam hutan.

Secara umum, banyak kalangan yang menyebut masyarakat Dayak Tamambaloh memiliki beberapa kesamaan dengan subsuku Dayak Taman, Dayak Kalis, dan Dayak Lau’. Kesamaan itu dapat dilihat dari aspek sejarah asal-usul, budaya, adat-istiadat, dan Bahasa yang dituturkan oleh seluruh kelompok suku tersebut. Beberapa unsur budaya yang dimiliki Suku Dayak Tamambaloh yang dinilai sama dengan Suku Dayak lainnya adalah budaya Panen Raya Gawai Dayak yang dilakukan sekitar awal bulan Mei setiap tahunnya secara bersama-sama oleh Suku Dayak. Dalam hal sejarah asal-usul juga mengalami kemiripan, terutama berkaitan dengan nenek moyang Suku Dayak yang sebenarnya masih berada dalam satu garis keturunan. Sementara aspek adat istiadat yang berhubungan dengan tradisi masyarakat Dayak secara umum, seperti memakan babi untuk nutrisi, tradisi perkawinan, dan tradisi kematian juga dinilai memiliki kesamaan. Bahasa yang meraka lafalkan juga dinilai memiliki kemiripan pelafalan karena masih dalam satu rumpun.

Suku Dayak Tamambaloh dan Alam

Suku Dayak Tamambaloh hidup dengan mengandalkan sumber daya alam hutan melalui sistem pertanian. Mereka mengenal baik sistem pertanian perladangan berpindah. Sistem tersebut hingga kini juga masih dikenal sebagai sebuah kearifan lokal di Kalimantan Barat. Suku Dayak Tamambaloh melakukan kegiatan pertanian dengan sistem tersebut sebagai sistem tradisional dengan tidak hanya menanaminya dengan padi, melainkan juga dengan sayur dan buah. Mula-mula, mereka akan memilih lokasi terlebih dahulu, kemudian membersihkan semak dan tanaman dengan cara dibakar. Selanjutnya, mereka akan melakukan upacara sesajen dan memanjatkan doa-doa. Hal itu yang menjadikan sistem pertanian yang mereka terapkan dinilai sebagai sistem pengelolaan hutan berbasis kearifan lokal.

Di dalam pengelolaan sumber daya hutan, mereka berpedoman pada sistem religi yang menuntun dan meneladani masyarakat Dayak Tamambaloh untuk selalu bersikap serasi dan harmonis terhadap dinamika alam semesta. Mereka amat percaya bahwa alam semesta penuh dengan kekuatan baik. Hal itu membuat mereka sangat berhati-hati dalam berperilaku dan bertindak, terutama yang berhubungan dengan alam. Maka, setiap kali melakukan tindakan atau aktivitas yang berkaitan dengan unsur-unsur alam, mereka selalu melakukan tindakan permisi atau meminta izin terhadap penghuni hutan. Sebagai misal, ketika hendak berburu satwa di hutan, pemburu tua dari Suku Dayak Tamambaloh akan melakukan doa-doa terlebih dahulu sebagai permohonan izin untuk berburu di dalam hutan. Namun demikian, lain halnya dengan pemburu muda yang tidak perlu melakukan ritual-ritual tertentu ketika hendak berburu. Mereka hanya perlu mempersiapkan beberapa keperluan, bahkan hanya memakai alas kaki biasa atau justru tidak memakai alas kaki sama sekali.

Suku Dayak Tamambaloh dan Perburuan

Selain melakukan aktivitas pertanian tradisional, masyarakat Dayak Tamambaloh juga melakukan aktivitas berburu. Tujuan mereka berburu diklasifikasikan menjadi beberapa hal, ada yang karena hobi atau rekreasi, subsisten (pemenuhan nutrisi), tradisi atau adat, dan tujuan komersial. Untuk tujuan hobi, kegiatan berburu hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu dengan tujuan untuk bermain-main atau ingin menggunakan senjata atau senapan untuk berburu hutan di dalam hutan. Kebanyakan pemburu yang melakukan aktivitas berburu dengan tujuan hobi atau rekreasi adalah para pemburu muda yang lebih kepada mencari rasa puas dan kebahagiaan. Kegiatan berburu tersebut juga sudah diajarkan oleh orang tuanya sejak mereka masih kecil, sehingga ketika dewasa mereka sudah terbiasa melakukan aktivitas tersebut dengan intensitas 1 sampai 2 kali dalam satu minggu.

Sedangkan aktivitas berburu yang memiliki tujuan subsisten (pemenuhan nutrisi) merupakan tujuan utama perburuan yang dilakukan oleh masyarakat Suku Dayak Tamambaloh. Tujuan utamanya tentu untuk menyediakan kebutuhan akan protein dari daging yang berkaitan dengan kelangsungan hidup keluarga suku Dayak Tamambaloh.

Untuk tujuan tradisi atau adat, Suku Dayak Tamambaloh telah melakukan aktivitas berburu selama turun temurun. Aktivitas tersebut terus mereka lakukan untuk menjaga kearifan lokal budaya yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka. Kegiatan tersebut untuk tujuan adat biasanya mereka lakukan pada hari-hari tertentu, seperti menjelang pernikahan, peringatan kematian, Hari Raya Natal, dan perayaan panen raya Suku Dayak.[2] Dalam hari-hari tersebut, intensitas satwa yang akan diburu juga jauh lebih banyak dibandingkan hari-hari biasanya. Sebagai misal, untuk memperingati kematian, mereka memerlukan pasokan daging yang lebih banyak sebagai jamuan bagi para tamu, sehingga jumlah satwa yang harus diburu juga harus lebih banyak. Dalam peringatan kematian tersebut, Suku Dayak Tamambaloh akan mengundang sanak saudara terdekat mereka untuk berkumpul dan meminum arak bersama sambil berpesta memakan daging hasil buruan. Mereka dilarang untuk melakukan aktivitas di luar rumah. Kegiatan tersebut mereka lakukan selama satu hari tepat dua minggu setelah kematian berlangsung.

Sementara itu, untuk tujuan komersialisasi, tidak semua masyarakat Suku Dayak Tamambaloh melakukan hal itu. Tujuan komersialisasi hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu. Apabila hasil buruan mereka berlebih, mereka akan menukarkannya dengan barang-barang kebutuhan pokok seperti beras dan sayur-sayuran. Ada pula yang menukarkannya dengan uang. Selain itu, ada pula di antara mereka (orang-orang tertentu) yang memburu satwa langka di dalam hutan untuk memperoleh keuntungan pribadi secara berlebih.[3]

Suku Dayak Tamambaloh dan Fauna

Hubungan Suku Dayak Tamambaloh terhadap alam juga tercermin dari bagaimana mereka memperlakukan flora dan fauna yang ada di sekitar mereka. Mereka memiliki kepercayaan tertentu terhadap beberapa flora dan fauna yang ada. Sebagai misal, Burung Enggang Badak atau Rangkok Badak[4] yang mereka percayai sebagai pemimpin atau raja para burung. Burung tersebut amat dihormati oleh Suku Dayak Tamambaloh. Ada bagian tertentu dari burung tersebut yang mereka manfaatkan, yaitu bagian paruh burung yang umumnya digunakan sebagai penghias dalam tarian adat Suku Dayak Tamambaloh ketika ada perayaan adat. Burung Enggang Badak sendiri dapat ditemukan di daerah dataran rendah dan perbukitan. Burung tersebut digolongkan sebagai burung pemakan buah-buahan dari pohon beringin atau ara. Selain buah-buahan, burung tersebut juga memakan serangga, reptile kecil, hewan pengerat, dan burung-burung kecil lainnya.

Burung Enggang Badak juga berkontribusi dalam penyebaran tumbuh-tumbuhan lain di sekitar Suku Dayak Tamambaloh. Biji-bijian dari buah yang mereka makan akan disebar secara sembarangan yang kemudian menjadikannya tumbuh menjadi tumbuhan atau pohon baru. Hal itu menyebabkan pentingnya keberadaan pohon beringin sebagai salah satu habitat hidup bagi burung Enggang Badak. Ada pun biji-bijian yang disebarkan oleh burung ini umumnya ada di daerah iklim tropis. Dengan demikian, burung Enggang Badak secara tidak langsung juga berkontribusi positif bagi tumbuhnya tumbuhan-tumbuhan baru di hutan Suku Dayak Tamambaloh.[5]

Selain itu, burung Enggang Badak juga memiliki kekhasan terutama dalam hal suara raungannya yang nyaring. Umumnya, suku Dayak Tamambaloh yang hidup sangat tradisional dapat menirukan suara khas dari Burung Enggang Badak.

Selain Burung Enggang Badak, masyarakat Dayak Tamambaloh juga memiliki hubungan akrab dengan Burung Kuau Raja atau Burung Ruai.[6] Mereka biasa memanfaatkan bulu burung tersebut untuk dimanfaatkan sebagai pelengkap atau penghias dalam pakaian adat mereka ketika hendak mengadakan upacara menari adat. Selain itu, bulu Burung Kuau Raja yang memiliki corak unik dan bagus tersebut banyak dimanfaatkan oleh penari laki-laki sebagai hiasan di bagian kepala.

Referensi

  1. ^ Sulistiyowati, Nita. 2016. Kearifan Suku Dayak Tamambaloh dalam Perburuan Satwa Liar di Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Skripsi. Program Studi Kehutanan Universitas Gadjah Mada.
  2. ^ http://indonesia.go.id/?p=8554
  3. ^ The GEF and UNEP, WWF-Indonesia. 2014. Buku Saku Pedoman Jenis-Jenis Satwa Liar yang Dilindungi di Kalimantan. Jakarta
  4. ^ https://www.goodnewsfromindonesia.id/2017/02/03/spesies-burung-rangkong-terbesar-asia-ada-di-indonesia
  5. ^ Nababan. 1995. Kearifan Traditional dan Pedestrian Lingkungan Hidup. Journal Analysis CSIS: Kebudayaan, Kearifan Traditional dan Pedestrian Lingkungan No. 6
  6. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-11-17. Diakses tanggal 2017-11-17.