Artikel ini memberikan informasi dasar tentang topik kesehatan. Informasi dalam artikel ini hanya boleh digunakan untuk penjelasan ilmiah; bukan untuk diagnosis diri dan tidak dapat menggantikan diagnosis medis. Wikipedia tidak memberikan konsultasi medis. Jika Anda perlu bantuan atau hendak berobat, berkonsultasilah dengan tenaga kesehatan profesional.
Sindrom TS (bahasa Inggris: toxic shock syndrome, TSS) adalah suatu kumpulan gejala yang dapat mengancam jiwa, ditandai dengan demam tinggi, nyeri tenggorokan, eritema difus, hiperemiamembran mukosa, mual/muntah, diare, dan gejala-gejala penyerta lainnya.[butuh rujukan] TSS dapat secara cepat berkembang menjadi disfungsi multisistem disertai gangguan elektrolit berat, gagal ginjal dan syok. TSS pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Jim Todd (1978), ahli epidemiologi di rumah sakit anak-anak Denver.[1]
TSS pertama kali mendapat perhatian publik pada tahun 1970, tidak lama setelah diperkenalkannya pembalut serap tinggi[2]. Epidemi serius dialami oleh wanita muda Amerika, yang gejala-gejalanya tidak dapat dijelaskan, mereka datang dengan demam tinggi, tekanan darah rendah, diare dan ruam kulit seperti tersengat matahari[2]. Meskipun TSS berhubungan dengan wanita menstruasi, penyakit ini dapat menyerang semua jenis kelamin, usia atau ras[2]. Infeksi dapat terjadi pada anak-anak, laki-laki dan wanita, yang mengalami pembedahan, luka atau sakit, dan yang tidak dapat melawan infeksi Staphylococcus.[3]
TSST-1 merupakan turunan dari protein sebagai "pyrogenictoxin superaninens"(PTSAs).[butuh rujukan] Turunan protein ini juga termasuk Staphylococcus enteretoxins (SPE) A-I, kecuali F dan Staphylococcus enteretoxins A-C dan F, melampaui aktivitas sejumlah sustansial T-sel. Namun, tidak seperti antibodi yang menstimulasi sel-sel T sesuai dengan apitope spesifik melalui berbagai macam region TCR, superantigen seperti TSST-1 berinteraksi dengan TCR tergantung pada haplotipe masing-masing.[butuh rujukan] Aktivitas ini sangat berperan penting dalam pelepasan beberapa sitokin, yang nantinya akan berperan dalam pathogenesis TSS.[butuh rujukan]
Epidemiologi
Pada awal tahun 1980 dilaporkan kasus TSS non menstrual yang dihubungkan dengan berbagai macam prosedur operasi, misalnya pada rinoplasti, pemakaian tampon hidung dan kondisi kesehatan, misalnya pneumonia, influenza dan infeksi.[butuh rujukan]
TSS dilaporkan terjadi menyusul setelah serangan influenza dan penyakit menyerupai penyakit influenza dengan angka mortalitas yag cukup signifikan (43%). Pemakaian tampon hidung juga data mengakibatkan TSS (20%-40%) pada populasi dewasa.[butuh rujukan]
Pengguna kokain, dekongestan topical, steroi sparay memiliki tingkat karier terhadap S. aureus lebih tinggi secara statistik dibandingkan dengan mereka yang tidak menggunakannya.[5]
Patogenesis
Hidung adalah tempat yang paling sering terjadi kolonisasi Staphylococcus aureus.[butuh rujukan] Rusaknya sawar mukosa meningkatkan risiko pada pasien yang rentan TSS. Pada keadaan normal secara fisiologis silia dan mukosa blanket yang intak melapisi jalan napas dan berperan dalam mekanisme mucocillary clearace sebagai pertahanan terhadap kontak dengan bakteri.[butuh rujukan]
Aksi langsung yang memperlambat, menghambat pergerakan silia dan mukosa blanket akan menyebabkan organisme menetap di saluran napas dan berkembangbiak pada mukosa yang stagnant.[butuh rujukan] Kemungkinan keringnya mukosa blanket setelah trauma operasi dan kerusakan mukosa akan mengakibatkan tidak aktifnya mucocillary clearace dan merupakan tempat masuknya toksin bakteri.[butuh rujukan]
Tindakan yang dapat meningkatkan risiko meliputi penggunaan alat-alat medis seperti tampon hidung dan septal splints.[butuh rujukan]
Sebagian besar kasus TSS secara langsung disebabkan oleh kolonisasi atau terinfeksi Staphylococcus aureus yang mensekresi eksotoksin dan dikenal sebagai Toxic Shock Syndrome (TSST-1). Sifat biologis yang dimiliki oleh TSST-1 adalah sebagai berikut:[1][3][6][7]
Sebanyak 90% kasus TSQ akibat menstruasi (TSSAM) adalah disebabkan oleh strain S. aureus yang menghasilkan TSST-1, sedangkan pada kasus TSS non menstruasi (TSSANM), TSST-1 hanya ditemukan pada kurang dari separuh kasus.[butuh rujukan]Enterotoksin B dan C telah berhasil diidentifikasi dari bahan isolasi TSSANM dan memiliki struktur kimiawi yang hampir identik dengan yang terdapat pada TSST-1. Hal ini dapat menjelaskan kemiripan gambaran klinis TSSAM dan TSSANM.[butuh rujukan]
Aspek paling menarik dari patofisiologi adalah vasolidilatas masif dan perpindahan cepat serum dan cairan ruang intravaskular ke ekstravaskular.[butuh rujukan]
menurunnya tonus vasomotor menimbulkan penimbunan darah di perifer dan kemudian menyebabkan turunnya tekanan vena sentral dan tekanan kapiler paru.
kebocoran cairan yang bersifat nonhidrostatik ke dalam jaringan interstitium, mnyebaban turunnya volume intrvaskuler dan udem secara menyeluruh, terutama didaerah kepala dan leher.
menurunnya fungsi jantung, termasuk berkurangnya pergerakan ototjantung dan berkurangnya fraksi kontraksi.
berkurangnya cairan tubuh total akibat muntah diare dan demam.
Dibutuhan beberapa faktor untuk berkembang menjadi sindroma, yaitu:
individu harus terinfeksi dengan Staphylococcus aureus yang memproduksi TSST-1 atau implikasitoksin lainnya.
toksin kemudian menyebar pada kulit atau barier membran mukosa pada daerah kolonisasi.
pada pasien harus terdapat risko infesi karena kekurangan antibody antitosin.
Etiologi
TSS disebabkan oleh strain Staphylococcus aureus yang normalnya ditemukan pada hidung mulut, tangan dan kadang-kadang vagina[2] Bakteri menghasilkan toksin yang meiliki karakteristik. Dalam jumlah yang cukup besar, toksin dapat masuk ke peredaran darah dan menyebabkan infeksi yang berpotensi menjadi fatal.[7][8][9][10]
Waktu rata-rata yang dibutuhkan hingga timbulnya penyakit TSS pasca bedah adalah 2 hari.[butuh rujukan] Kasus TSS minor ringan umumnya ditandai dengan demam, menggigil mialgia, nyeri adomen, sakit tenggorokan, mual, muntah dan diare. Kasus TSS major dapat terjadi secara akut disertai gangguan multisistem berbagai organ dan kelainan laboratorium.[7]
Pemeriksaan fisik
Demam lebih dari 102oF (38,9oC)
Hipotensi atau penurunan tekanan sistol sebesar 15mmHg. Stadium awal biasanya berlangsung sekitar 24–48 m, pasien akan mengalami disorientasi dan oligouri.
Udem wajah dan ekstremitas akibat kebocoran cairan intravaskuler ke dalam ruang interstitial.
Kelemahan dan kaku otot
Distensi abdomen
1/2 -3/4 penderita mengalami faringitis dan lidah kemerahan.
Pengobatan TSS tergantung organ yang terinfeksi dan jenis bakteri penyebabnya.[12] Aspek pengobatan awal yang paling penting adalah penatalaksanaan syok sirkulasi segera.[butuh rujukan] Pengawasan terus menerus atas denyut jantung, output urin, dan tekanan vena sentral.[1][6][7][7]
Perawatan sebelum masuk rumah sakit meliputi resusitasi caran secara agresif, terutama pada hipotensi, dan pemberian oksigen
Perawatan ICU meliputi resusitasi cairan dan pemberian oksigen dilanjutkan. Monitor denyut jantung, respirasi dan tekanan darah.
Resusitasi cairan
Dua puluh empat jam pertama penderita memerlukan 4-20 liter larutan kristaloid dan fresh frozen plasma, serta mungkin dapat diberikan infus dopamin dengan dosis awal 5-20 mu/kg BB bila restriksi cairan gagal memulihkan tekanan normal.
Terapi oksigen
Untuk memaksimalkan oksigenisasi jaringan
Untuk mengoreksi hipoksia dan atau asidosis
Terapi hiperbarik oksigen digunakan pada infeksi jaringan nekrosisi
Monitoring jantung
Monitorin gas darah
Pasang kateter untuk memonitoring urin
Tampon diangkat
Fokus infeksi cepat dicari dan diobati segera.
Terapi antibiotik
Amoksisilin dengan beta laktamase seperti klavulanat atau sulbaktam 1-2 gram, tiap 4 jam ; bila alergi terhadap penisilin dapat diberi vankomisin atau klindamisin, 600–900 mg IV per 8 jam atau eritromisin 1 gram tiap 6 jam selama 3 hari dilanjutkan dengan diklosasilin oral atau klindamisn oral pada penderita alergi penisilin selama 10-14 hari.
^ abcTurkington Carol A (1998). Infectious Disease A to Z (edisi ke-1th ed.). New York: Facts on File.Pemeliharaan CS1: Teks tambahan (link)
^Gittelman PD, Jacob JB (1991). Staphylococcus aureus Nasal Carriage in Patient with Rhinusinositis (edisi ke-7th ed. Part 1:733-6). Laryngoscope.
^Issa NC, Thompson RL (2001). Staphylococcal toxic shock syndrome: Suspicion and prevention are keys to control (edisi ke-4th ed. page: 55-6, 59-62). Postgrad Med.
^ abcAbram A.C , Beman KT (1994). Toxic Shock Syndrome After Functional Endonasa Sinus Surgery : An all or none phenomena (edisi ke-8th ed. part 1:927-931). Laryngoscope.
^ abcdefPerry SJ, Harwood AL (2000). Toxic Shock Syndrome and Streptococcal Toxic Shock Syndrome.In:Emergency Medicine A Comprehensive Study Guide (edisi ke-5th ed. page:946-950). McGraw-Hill.
^Turkington,Carol A (1998). Infectious Disease A to Z (edisi ke-1th ed.). New York: Facts on File.Pemeliharaan CS1: Teks tambahan (link)
^Cullen MM, Leopold DA MR (2005). Nasal Emergencies.In: Emergencies of the Head and Neck (edisi ke-1th ed.page: 243-244). Mosby Inc.
^Santos PM, Lepore ML (1998). Epitaxis.In: Head and Neck Surgey-Otolaryngology (edisi ke-2th ed.). Philadelphia:Lippincott-Raven Publ.Pemeliharaan CS1: Teks tambahan (link)
^Issa NC, Thompson RL (2001). . Staphylococcal toxic shock syndrome: Suspicion and prevention are keys to control (edisi ke-4th ed. page: 55-6, 59-62). Postgrad Med.