Sejarah Kangean
Nomenklatur
Nomenklatur “Kangean” memiliki sejarah panjang yang berakar dari jaman kuno. Menurut tradisi oral masyarakat lokal Kangean, istilah “kangean” pada mulanya muncul sebagai bentuk identitas pembeda antara kaum keturunan bangsawan dan non-bangsawan. Dalam bahasa Kangean itu sendiri, “kangean” atau secara alternatif juga dieja sebagai “kangayan” (terafiksasi dari “ka-” + “angay” + “-an”) memiliki makna 'para keturunan bangsawan' atau 'aristokrat', hal ini selaras dengan fakta sejarah Kangean yang secara kontinyu menjadi basis kekuasaan para bangsawan yang berasal dari wilayah-wilayah di sekitar Kepulauan Kangean itu sendiri (yakni asal Jawa, Sulawesi, Bali dan sebagainya). Prasejarah![]() Menurut penelitian resmi yang dilakukan oleh para ahli arkeologi dari Pusat Arkeologi Yogyakarta, pulau Kangean diperkirakan telah dihuni oleh manusia setidaknya sejak tahun 4.000[2] hingga 9.000 Sebelum Masehi (sekitar 11.000 tahun yang lalu).[3] Hal tersebut dapat dikaji melalui penemuan-penemuan arkeologi kuno yang terdapat di kompleks Gua Arca yang berlokasi di wilayah barat pulau Kangean.[2] SivilisasiBangsawan JawaPeradaban masif Kangean secara umum diyakini dibina oleh dinasti Rajasa, yakni sebuah dinasti Jawa yang berasal dari pulau Jawa. Hal tersebut diabadikan dalam nomenklatur daerah di wilayah barat pulau Kangean, yang kini masih dikenali sebagai “Arjasa”, yang berfungsi sebagai ibu kota de facto bagi Kepulauan Kangean secara umum. Menurut hipotesis masyarakat non-Kangean (secara khususnya masyarakat Madura), diduga adanya kemungkinan bahwa sosok figur Arya Wiraraja yang dikenali oleh masyarakat Madura di pulau Madura[4] dan Banyak Wide yang dikenali oleh masyarakat Bali di pulau Bali, merupakan sosok figur yang sama yang dikenali sebagai Arjasa oleh masyarakat Kangean di pulau Kangean. Ia dianggap sebagai tokoh penting dalam peradaban dan kepemimpinan wilayah kepulauan di timur pulau Jawa (yakni Kepulauan Madura, Kepulauan Bali, maupun Kepulauan Kangean). Namun demikian, sosok Arjasa yang dikenali di masyarakat Kangean lebih berkaitan erat dengan Rajasa, sang pendiri dinasti Rajasa itu sendiri, yang lebih dikenali sebagai Ken Arok di tanah asalnya. Arjasa sebagai daerah ibu kota pun sampai sekarang masih dilambangkan dengan Ayam Bekisar, yang diyakini sebagai simbolisasi keturunan dinasti Rajasa itu sendiri, yakni Rajasanegara, atau lebih kerap disebut sebagai Hayam Wuruk di Jawa. Istilah “Arjasa”, “Rajasa” dan “Rajasanegara” (Hayam Wuruk) kemudian menjadi bersinonim antar satu sama lain dalam tradisi oral masyarakat Kangean.
Dihimpun dari temuan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur, berdasarkan bukti tertulis yang dapat ditelusuri dalam Prasasti Sapudi berbahasa Jawa kuno yang ditemukan di salah satu masjid di pulau Sapudi (bagian dari wilayah Kepulauan Madura), pada era abad ke-15 atau 16 Masehi, wilayah Kepulauan Kangean dipimpin oleh seorang keturunan Jawa asal Tumapel yang bernama Wira Krama. Seluruh keturunan yang tertulis dalam prasasti tersebut ditengarai memiliki garis leluhur yang sama, yakni para misionaris Islam asal Jawa yang mempunyai peranan penting dalam penyebaran Islam di rantau wilayah Kepulauan Kangean. KolonialisasiMemiliki cadangan sumber daya alam berupa gas dan minyak bumi alami,[5] wilayah Kepulauan Kangean pernah menjadi wilayah yang diperebutkan kekuasaannya oleh berbagai kekuatan asing. Secara spesifik, Kangean pernah dikuasai atau dijajah oleh Belanda (Nederlandsch-Kangeansch) selama beberapa periode (sejak abad ke-17 atau 18 Masehi), yang kemudian disusul oleh pendudukan kolonial Jepang (カンゲアン) pada tahun 1942-1949. Lapangan alun-alun di Arjasa pernah berfungsi sebagai tempat landasan helikopter-helikopter kolonial Belanda (maupun Jepang) pada saat masa penjajahan. LinguistikDalam bidang linguistik, sejarah perkembangan bahasa Kangean tidak terlepas dari sejarah interaksi sosial Kangean secara umum. Dikarenakan faktor sejarah, bahasa Kangean di jaman modern lebih dekat kebahasaannya dengan bahasa Jawa, sebagaimana relasi bahasa Bali dengan bahasa Jawa. Bagi penutur bahasa Jawa, khususnya bahasa Jawa Timur, tingkat kesulitan untuk memahami bahasa Kangean cenderung lebih rendah dibandingkan dengan kelompok bukan penutur bahasa Jawa atau rumpun bahasa Jawa lainnya. Perbandingan bahasaNyanyian
Percakapan
Numerik
Referensi
|