Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Sejarah Batak

Sebelum membahas sejarah, penting untuk memahami penggunaan istilah "Batak". Dewasa ini, istilah "Batak" terutama diasosiasikan dengan subkelompok etnis Toba, karena kelompok ini cenderung menyebut diri sebagai "Batak". Padahal, secara historis, istilah ini juga mencakup kelompok etnis lainnya di Sumatera Utara seperti Karo, Pakpak-Dairi, Simalungun, dan Angkola-Mandailing yang pada era prakolonial dan awal kolonial Belanda juga menyebut diri "Batak". Namun, keempat kelompok tersebut kini umumnya enggan menggunakan predikat "Batak", salah satunya karena kencenderungan dominasi asosiasi istilah tersebut dengan Toba. Alasan orang Toba memilih "Batak" adalah karena "Toba" pada dasarnya merujuk pada wilayah geografis tertentu, bukan identitas suku bangsa yang lebih luas.[1]

Berikut ini adalah ringkasan dari daftar angka-angka tahunan Sejarah Batak, yang disusun oleh Sutan Martua Raja, seorang penyelidik Sejarah Batak, pada tahun 1939: [2]

± 300-1000 tahun sebelum masehi

Suku Batak, sebagai bagian dari Proto Malayan Tribes (kelompok etnis Proto Melayu), saat itu masih bertempat tinggal di pegunungan perbatasan Myanmar dan Thailand. Bersama-sama dengan Proto Malayan Tribes lainnya, yaitu: Suku Karen, Toraja, Tayal, Ranau, Bontoc, Meo, dan lain-lain.

Sifat karakteristik dari semua Proto Malayan Tribes, adalah: cenderung untuk in splendid isolation di lembah-lembah sungai serta di plateau di pegunungan. Cenderung tidak menyukai berhubungan dengan orang-orang yang datang dari tepi pantai laut, orang-orang yang biasanya membawa ajaran agama, seperti misalnya agama Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen.

Sifat tersebut, sangat kuat dipertahankan oleh orang-orang Batak dan orang-orang Toraja hingga Abad ke-19. Hingga kini juga masih kuat dipertahankan oleh orang-orang Tayal di Taiwan, orang-orang Bontoc di Fiipina, serta oleh orang-orang Meo di Thailand.

± 1000 tahun sebelum masehi.

Oleh suku-suku Mongol yang menjelajah ke arah selatan, terdesaklah suku-suku Syan (orang-orang Myanmar, Thailand dan Kamboja) ke arah selatan. Suku-suku Syan tersebut, di sepanjang sungai-sungai Salween dan Irawadi,  mendesak pula suku-suku Proto Melayu ke arah selatan, yang terpaksa meninggalkan splendid isolation di pegunungan, dan malah sampai ke tepi laut di Teluk Martaban. Suku-suku Proto Melayu tersebut pergi ke seberang lautan, mencari tempat-tempat tinggal yang baru, yang lebih menjamin splendid isolation di daerah pegunungan.

Suku Bontoc mendarat di Filipina, Suku Toraja di Sulawesi Selatan, Suku Tayal di Taiwan, dan Suku Ranau di Lampung. Suku Karen tetap berada di Myanmar, serta Suku Meo tetap berada di Thailand.

Suku Batak berlabuh di sebelah Barat Pulau Sumatera, didalam tiga gelombang:

  1. Gelombang pertama Suku Batak mendarat di Nias, Mentawai, Siberut, dan pulai-pulau lain hingga ke Enggano.
  1. Gelombang kedua Suku Batak mendarat di muara Sungai Simpangkanan. Memasuki pedalaman menjelajah sepanjang Sungai Simpang Kiri, dan menetap di Kutacane. Berkembang dari Kutacane mendjadi orang-orang Suku Gayo serta orang-orang Suku Alas. Yang tinggal menetap di sekitar Sungai Simpangkanan, menjadi orang-orang Suku Pakpak.
  1. Gelombang ketiga, Mainstream dari Suku Batak mendarat di muara Sungai Sorkam, Tapanuli Tengah. Memasuki pedalaman sepanjang Sungai Sorkam up country, dan melewati Tele mencapai pantai Barat Danau Toba, menetap di kaki Gunung Pusuk Buhit di Sianjur Sagala Limbong Mulana, di seberang kota Pangururan yang sekarang.

Suku Batak berangsur-angsur berkembang in splendid isolation di Sianjur Sagala Limbong Mulana,  Di situ terjadi dua branches (cabang) dari Suku Batak, yaitu:

A. Tatea Bulan, yang di dalam adat dianggap yang tertua.

B. Isumbaon, yang di dalam adat dianggap yang bungsu.

± 1000 tahun sebelum masehi - tahun 1510 Masehi.

Di Sianjur Sagala Limbong Mulana, Dinasti Sori Mangaraja memerintah selama 90 generasi. Selaku Pagan Priest Kings serta selaku Chief Witch Doctors memerintah Suku Bangsa Batak, di dalam pemerintahan theocracy.

Dinasti Sori Mangaraja terdiri atas orang-orang Marga Sagala dari Tatea Bulan. Dinasti Sori Mangaraja sangat disegani di Tanah Batak Selatan, yang sebagian besar penduduknya berasal dari Tatea Bulan Branch.

Karena keterbatasan lahan pertanian, maka, Suku Batak dari Sianjur Sagala Limbong Mulana serta dari sekitar Danau Toba, berkembang secara sentripetal. Pecahnya epidemi di suatu tempat, menyebabkan juga perpindahan penduduk orang-orang Suku Batak. Perpindahan-perpindahan penduduk tersebut masih berlangsung hingga kini ke daerah-daerah lain.. Dalam abad ke-19, sangat banyak perpindahan orang-orang Batak dari Tanah Batak Selatan ke Selangor/Malaya.

± Tahun 450 Masehi

Daerah Toba telah dihuni dan diusahakan oleh bagian-bagian dari suku Batak yang berasal dari Sianjur Sagala Limbong Mulana, terutama dari Isumbaon branch/klan Sibagot Ni Pohan. Sedangkan pada saat yang bersaman, di Toba juga bermukim sekelompok minoritas yang berasal dari kelompok (branch) Tatea Bulan, di antaranya yaitu orang-orang marga Lubis.

Sebagian dari orang-orang marga Lubis terdesak keluar dari Toba, dan pergi merantau ke arah selatan. Sedangkan sebagian dari mereka tetap berada di daerah Toba dan Uluan, sampai sekarang.

Orang-orang marga Lubis yang pergi merantau ke selatan tersebut, pada sekitar tahun 900 masehi terpaksa hanya sampai di Mandailing Selatan, karena harus berhadapan dengan orang-orang suku Minangkabau yang berasal dari sekitar Danau Singkarak, yang pergi merantau ke arah utara. Adapun benteng dari klan marga Lubis terletak di Pakantan Dolok.

Pada masa itu, klan marga Lubis mengalahkan suku Lubu, yang merupakan suatu kelompok etnis Negroid Dravidik yang berasal dari India, yang melalui Kepulauan Andaman serta Nikobar, berlabuh di muara Sungai Batang Toru. Suku Lubu bertahan di hutan-hutan sekitar Muara Sipongi.

Tahun 600-1200 Masehi

Kerajaan Nagur di Simalungun.

Kerajaan Nagur merupakan suatu kerajaan pagan yang berdiri sendiri, lepas dari Dinasti Sori Mangaraja di Sianjur Sagala Limbong Mulana. Kerajaan Nagur didirikan oleh orang-orang suku Simalungun, yang berasal dari Tomok, Ambarita dan Simanindo, di Pulau Samosir, bukan dari Toba, seperti halnya orang-orang marga Lubis di Mandailing.

Kerajaan Nagur di Simalungun kerap dikunjungi oleh kapal-kapal dagang dari Tiongkok, pada zaman DInasti Sui (Tahun 570-620 Masehi). Pada saat itu para pedagang Tiongkok mendirikan kota-pelabuhan Sang Pang To, di tepi Sungai Bah Bolon, kurang lebih tiga kilometer dari kota Perdagangan yang sekarang.

± Tahun 850 Masehi

Kelompok marga Harahap dari Tatea Bulan branch, yang berasal dari Habinsaran, seluruhnya pergi merantau ke arah timur, menduduki daerah aliran Sungai Kualu dan Sungai Barumun di Padanglawas. Di sana mereka bermata pencaharian sebagai peternak sapi. Dalam waktu dua generasi saja, orang-orang marga Harahap sudah menduduki seluruh daerah Padanglawas, antara Sungai Asahan dan Sungai Rokan. Sebagian dari mereka, melalui daerah SIpirok, memasuki dan menduduki daerah Angkola, dan di sana bemata pencaharian sebagai petani.

± Tahun 900 Masehi

Marga Nasution terbentuk di Mandailing. Sejak zaman Raja Salomo, sudah ada komunitas pelaut keturunan multi-etnis, terutama dari Bugis, yang menetap di sekitar pelabuhan Natal dan Muaralabuh (Singkuang). Mereka secara sukarela masuk dalam sistem adat Batak Dalihan Na Tolu, dengan  Datu Nasangti Sibagot Ni Pohan, sebagai pemimpin, yang membentuk suatu marga, yaitu Nasution.

Pada masa itu juga, Martua Raja Doli, dari Sianjur Sagala Limbong Mulana, dengan para pengikutnya, merebut dan menduduki kampung Lottung di Samosir Timur. Di situ terbentuklah klan (kelompok marga) Lottung Si Sia Marina, yang terdiri atas tujuh marga yang dianggap bersaudara di dalam adat patriarki, yaitu marga-marga: Situmorang, Sinaga, Nainggolan, Pandiangan, Simatupang, Aritonang dan Siregar.

± Tahun 1050 Masehi

Terjadi Plague epidemics (wabah penyakit) di kawasan Lottung, yang menyebabkan klan Lottung Si Sia Marina tersebar ke berbagai wilayah. Klan marga Siregar terbagi dua menjadi Siregar Sigumpar dan Siregar Muara, keduanya bermukim di Toba.

±Tahun 1100 - 1250

Berdirinya Kerajaan Aru (Sipamutung), sebuah kerajaan vassal (boneka) dari Kerajaan Cola pimpinan Rajendra Cola, seorang raja penganut Hindu-Siwa dari India Selatan yang merebut Sri Langka yang Buddhist. Kerajaan Aru Sipamutung sangat banyak menghasilkan emas. Terutama di daerah aliran sungai Barumun, Batang Angkola, dan Batang Gadis. Namun, setelah cadangan emas di situ habis, maka para penambang emas yang beragama Hindu Siwa itu pun kembali ke Sri Lanka. Peninggalannya adalah Candi SIpamutung, sebuah kompleks candi yang lebih luas daripada kompleks Candi Prambanan atau Penataran di Pulau Jawa.

Tahun 1200 Masehi

Kerajaan Nagur di Simalungun dimusnahkan oleh orang-orang suku Karo.

Tahun 1200 - 1285 Masehi

Kerajaan Nagur yang belum sempat berkembang tersebut, dilanjutkan oleh orang-orang Gayo, di daerah hulu Sungai Pasai, hingga tahun 1285 Masehi. Raja Nagur yang terakhir, Meurah Silu, menjadi Sultan Malikussaleh, Sultan Samudera Pasai yang pertama.

Tahun 1200 - 1508 Masehi

Kerajaan Aru (Wampu), yaitu suatu kerajaan Karo yang pagan, yang juga lepas dari Dinasti Sori Mangaraja di Sianjur Sagala Limbong Mulana.

Tahun 1275-1289 Masehi

Ekspedisi Pamalayu. Tentara Singasari merebut daerah aliran Sungai Batanghari dan Sungai Kampar yang merupakan kawasan penghasil lada. Untuk mengamankan hasil-hasil dari ekspedisi Pamalayu, tentara Singasari dikerahkan menduduki muara Sungai Asahan. Pangeran Singasari Indra Warman menjadi raja bawahan Singasari di Asahan.

Tahun 1292 Masehi

Keraton Singasari direbut dan dihancurkan oleh Jayakatwang, yang merupakan Raja Kediri. Pangeran Indra Warman tidak mau mengakui Jayakawang sebagai raja. Begitu pula ketika Raden Wijaya dinobatkan sebagai raja Majapahit, Pangeran Indra Warman tetap tidak mau mengakui Raden wijaya, sepupunya tersebut, sebagai raja. Indra Warman menganggap dirinyalah penerus tahta kerajaan Singasari.

Untuk mengantisipasi pembalasan dari kerajaan Majapahit terhadap dirinya, Indra Warman memndahkan pusat dari kerajaan barunya tersebut ke pedalaman Sumatera.

Tahun 1293 - 1339 Masehi

Kerajaan Silo yang beragama Hindu, didirikan oleh Raja Indra Warman yang berasal dari Kerajaan Singasari, beserta para tentara bawahannya. Kerajaan Silo terdiri dari para bangsawan yang adalah orang-orang Jawa dari Singasari, dan penduduknya kebanyakan adalah orang-orang Simalungun dari marga Siregar Silo.

Tahun 1331 - 1364 Masehi

Kerajaan Majapahit di bawah Maha Patih Gajah Mada menjadi kerajaan maritim yang kuat.

Tahun 1339 Masehi

Tentara Kerajaan Majapahit mendarat di muara Sungai Asahan, menjelajah sepanjang Sungai Silo, dan menghancurkan Kerajaan Silo, menewaskan Raja Indra Warman. Tentara Majapahit, langsung di bawah komando Gajah Mada, juga merebut Kerajaan Aru (Wampu), serta ke-Syahbandar-an Tamiang (bawahan Kesultanan Samudra Pasai). Di rawa-rawa Sungai Tamiang, tentara Majapahit menderita kekalahan akibat sergapan dari gerilyawan Islam dibawah pimpinan Panglima Mula Setia. Gajah Mada pun meninggalkan sisa pasukannya, kembali ke Pulau Jawa.

Para keturunan Raja Indra Warman, mendirikan Kerajaan Dolok Silo dan Kerajaan Raya Kahean.

Tahun 1339 - 1947

Kerajaan Dolok Silo dan Kerajaan Raya Kahean lambat laun berubah menjadi kerajan-kerajaan Simalungun, yang beragama Hindu. Kerajaan tersebut tetap eksis selama ± 600 tahun, menjadi dinasti yang tertua di kepulauan Indonesia pada abad ke-20. (250 tahun lebih tua daripada Dinasti-dinasti  Mataram di Pulau Jawa).

Berdiri pula dua kerajaan Simalungun, yaitu Kerajaan Siantar dan Kerajaan Tanah Jawa. Raja-raja Siantar juga adalah keturunan dari Raja Indra Warman. Sedangkan raja-raja Tanah Jawa adalah para pendatang dari Pulau Samosir, yakni orang-orang marga Sinaga. Namun nama "Tanah Jawa" tetap digunakan, untuk menunjukkan tanah asal dari Raja Indra Warman (Pulau Jawa).

± Tahun 1350 Masehi

Orang-orang marga Siregar memasuki daerah Sipirok, di Tanah Batak Selatan.

Tahun 1416 Masehi

Armada Tiongkok dari Dinasti Ming, dibawah komando Laksamana Haji Sam Po Bo (atau yang lebih dikenal dengan nama Cheng Ho), merebut dan menduduki Muaralabuh di muara Sungai Batang Gadis. Di situ didirikan penggergajian kayu, dan pelabuhan Sing Kwang (Tanah Baru).

Lihat juga: Peranan Orang-orang Tionghoa Islam Mazhab Hanafi Dalam Perkembangan Islam Di Pulau Jawa

Tahun 1416 - 1513 Masehi

Orang-orang Tionghoa yang beragama Islam mazhab Hanafi bermukim di Sing Kwang, di Tanah Batak. Kayu meranti dari Tanah Batak digunakan untuk membangun istana-istana dan pagoda di Peking, Tiongkok.

Pada masa itu, unsur-unsur kebudayaan Tionghoa diserap kedalam marga Nasution, tunduk kepada sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu.

± Tahun 1450 - 1500 Masehi

Dengan dukungan dari Kesultanan Malaka, Datuk Sahilan dan beberapa orang Minangkabau pendukungnya dari sekitar Sungai Kampar, mengIslamkan orang-orang Batak marga Marpaung yang bermukim di sekitar muara Sungai Asahan, dan juga orang-orang Simalungun di daerah Kisaran, Tinjauan, Perdagangan, Bandar, Tanjungkasau, Bedagai, Bangun Purba, dan Sungaikarang.

Tahun 1450 - 1818 Masehi

Perdagangan garam dengan karavan kuda, di daerah Uluan Toba dan Samosir, didominasi oleh orang-orang marga Marpaung yang beragama Islam mazhab Syafii. Mereka membentuk komunitas Batak Muslim yang pertama di Tanjung Balai.

Tahun 1508 Masehi

Kerajaan Aru (Wampu) yang pagan, dimusnahkan oleh Kesultanan Aceh (yang saat itu sedang baru terbentuk). Kerajaan Aru yang berada di daerah aliran Sungai Wampu tersebut, adalah cikal bakal dari Kesultanan Langkat.

Tahun 1508 - 1523 Masehi

Kesultanan Aru (Deli Tua) di daerah aliran Sungai Deli, merupakan kesultanan bawahan dari Kesultanan Aceh. Penduduknya mayoritas merupakan orang-orang Karo, baik yang sudah maupun yang belum di-Islamkan. Kesultanan Aru (Deli Tua) merupakan cikal bakal dari Kesultanan Deli.[2]

Daftar Pustaka

  1. ^ Kozok, Uli (2009). Surat Batak. Jakarta: École Française d'Extrême-Orient. hlm. 11. ISBN 978-979-91-0153-2. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  2. ^ a b Parlindungan, Ir. Mangaraja Onggang (2007). Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao terror agama Islam mazhab Hambali di Tanah Batak, 1816-1833. Yogyakarta: LKiS. hlm. 614–643. ISBN 9789799785336. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
Kembali kehalaman sebelumnya