Salikin Hardjo |
|
Kelahiran | 1913 |
---|
Kematian | Juni 1993 (79/80 tahun) |
---|
|
|
|
|
|
|
Pekerjaan | politikus |
---|
Salikin Mardi Hardjo (Malang, 1910 - Tongar, Aia Gadang, Pasaman, Pasaman Barat, Sumatera Barat, Juni 1993) ialah tokoh Jawa Suriname yang pada tahun 1930 menulis sejumlah artikel dengan nama samaran yang mengupas tentang pemerintahan kolonial di Suriname dan gaya tentang bagaimana para kuli kontrak Jawa diperlakukan. Di saat yang sama ia mengajukan usulan untuk membawa kembali mereka ke Indonesia. Pada tahun 1954, ia kembali bersama keluarganya dan memimpin ribuan orang Jawa dalam kapal KM Langkuas ke Sumatra dan tinggal di Tongar, yang sekarang masuk Kabupaten Pasaman Barat.
Masa kecil di Jawa
Berasal dari daerah Kebalen, Malang, Salikin Hardjo adalah putera dari Doelbasah, dikenal sebagai Doel, yang hanya berusia 14 tahun lebih tua. Doel memahami bahwa pewarisan dan kerja keras adalah cara untuk mencapai kemakmuran. Ia bersekolah dan membuka bengkel reparasi jam. Keluarga tersebut diterpa masalah keuangan sehingga Doel mengadu nasib dengan bermain dadu. Sampai kelahiran anak ke-3, seorang perempuan, ia berhenti berjudi. Setelah puterinya tersebut meninggal, Doel pun meminta nasihat seorang dukun. Dukun tersebut mengatakan bahwa keluarga tersebut harus pergi secepat mungkin dari Jawa Timur, ke arah barat. Keluarga tersebut melanglang sejumlah daerah yang berbeda di Jawa, hingga pertemuan Doel dengan seorang kawan lama yang memberitahu kepadanya bahwa ia telah memutuskan kontrak 5 tahun di Suriname. Doel memutuskan untuk melakukan hal yang sama bersama keluarganya.
Moengo
Pada tanggal 4 Februari 1920, keluarga Hardjo tiba di Semarang bersama dengan 700 orang lainnya untuk berlayar ke Suriname. Doel dan kawannya Saman, seorang montir listrik, ditempatkan untuk bekerja di Moengo, di mana tenaga mereka dibutuhkan di industri bauksit yang baru dibuka.[1] Doel tinggal sebagai montir di rumah untuk sekeluarga yang lebih baik keadaannya daripada di Jawa, berkebalikan dengan pekerja tak terlatih, yang tinggal di barak-barak yang panjang tanpa privasi atau higiene. Salikin belajar menghitung dan baca-tulis bahasa Jawa dari ayahnya. Ketika Gereja Moravia mengirimkan guru ke Moengo, pergilah ia untuk pertama kalinya ke sekolah dasar yang sesungguhnya. Di sana ia lulus secara memuaskan dalam usia 16 tahun. Setelah berakhirnya kontrak 5 tahunannya, Doel meneken kontrak untuk setahun lagi. Ia mendapatkan bonus dan perjalanan kembali gratis ke Jawa. Adik Salikin yang bernama Samioen kemudian mengisahkan bahwa Doel kembali amat ingin bermain dadu dan keluarga tersebut kembali menghadapi masalah keuangan.
Paramaribo
Pada tahun 1926, keluarga tersebut tinggal di Paramaribo. Salikin Hardjo terus magang di tempat kerja pandai besi hingga ia mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke MULO. Pada tahun 1930, ia lulus memuaskan, dan menjadi salah satu dari orang Jawa terpelajar terbaik di Suriname pada masa itu.
Ia bermasalah di pekerjaannya namun mengembangkan minat luas atas keadaan politik dan ekonomi di negeri itu. Dari magang sebagai tukang seter di kantor percetakanlah ia berkembang. Ia mendapatkan jabatan pimpinan harian di ruang set dan mengembangkan minat dalam jurnalistik. Ia mengikuti debat dan berita politik dari Belanda. Dari surat kabar dari Hindia Belanda, ia juga membaca perkembangan pergerakan nasional di kampung halamannya, dan ia membagi gagasan Soekarno. Kantor cetak lain, Heyde, mencetak De Banier van Waarheid en Recht (Panji Kebenaran dan Hukum).
Bok Sark
Antara tahun 1932-1935, De Banier van Waarheid en Recht menerbitkan surat dari seorang wanita Jawa, Bok Sark. Ia menyatakan bahwa ia berada di perkebunan bersama dengan suaminya dan menulis tentang sejumlah kekerasan di sana. Pemerintah mencoba menemukan siapa dia sesungguhnya. Hal ini tetap tak jelas hingga awal tahun 1990. Harian Mutyama mengulas dalam edisi ke-2 bulan November 1990 atas wanita tersebut dan menerbitkan surat-suratnya secara terpisah. Atas provokasi tersebut, diselenggarakanlah diskusi di Weekkrant Suriname (Koran Minggu Suriname). Salah satu peserta dalam diskusi tersebut adalah Klaas Breunissen. Pada tahun 2001, ia menerbitkan buku yang memuat riwayat hidup Salikin Hardjo. Akhirnya terungkap, bahwa Bok Sark itu tidak lain adalah Salikin Hardjo sendiri.[2]
Anton de Kom
Pada tahun 1933, Anton de Kom tiba di Suriname. Dalam waktu singkat, datanglah sejumlah kelompok orang Jawa untuk meminta nasihat. Penangkapannya menimbulkan unjuk rasa besar-besaran. Pemerintah kolonial melancarkan tembakan ke arah masa yang mengitari De Kom yang dibebaskan, dan sejumlah orang tewas akibat peristiwa itu. Hardjo menilai bahwa harapan orang Jawa untuk kembali ke tanah airnya dan perasaan mistiknya akan menggerakkan mereka. Dari sini terilhami De Kom "raja Jawa yang sesungguhnya yang telah beradaptasi dengan warna kulit hitam, dan orang Jawa akan akan dibawa kembali ke kampung halamannya". Salikin dan saudaranya Samioen agak skeptis di sini. Menurut pendapat mereka, tak seorang pun dapat kembali sepanjang keadaan tak menguntungkan.
Indonesische Islamitische Vereniging
Pada tahun 1932, dibentuklah Indonesische Islamitische Vereniging (Perhimpunan Islam Indonesia). Organisasi ini menarik banyak anggota. Dengan adanya sumbangan, dibangunlah masjid dengan arah kiblat ke timur karena Makkah terletak di timur Suriname. Namun, orang Jawa yang datang dari Jawa tetap salat dengan menghadap ke barat. Salikin Hardjo menulis surat kepada konsulat Belanda di Jeddah (Arab Saudi) atas keyakinannya tentang arah yang benar yang dipilih. Konsulat tersebut mengkonfirmasikan hal tersebut. Pada tahun 1935 dibangun mesjid dan menjadi yang pertama dengan arah kiblat ke timur di Suriname. Ketidaksepahaman mengakhiri riwayat Islamitische Vereniging, dan hingga sekarang, Muslimin Jawa Suriname terpecah dalam 2 kelompok dengan arah kiblat masing-masing.
Hardjo kehilangan minat dalam perhimpunan itu dan mengalihkan perhatian ke politik. Pada tahun 1940, ia turut mendirikan PBIS (Pergerakan Bangsa Indonesia Suriname, Beweging van de Indonesische Bevolking in Suriname). PBIS kemudian berganti nama sebagai KTPI di bawah pimpinan Iding Soemita, seorang orator berbakat yang berjanji untuk membawa kembali orang Jawa ke Hindia Belanda. Menurut Breunissen, 'Hardjo mengabarkan realitas, dan Soemita memungkinkan orang bermimpi'. Hardjo terilusi terus, khususnya ketika anggota KTPI dan PBIS berhadapan satu sama lain. KTPI mengalahkan PBIS yang diperkuat dengan pemilu pada bulan Mei 1949. Hardjo memutuskan kembali ke Indonesia.
Kembali ke Indonesia
Setelah konferensi di Indonesia pada tahun 1951 (di mana Iding Soemita juga bertindak sebagai delegasi) dan 1953 serta persipan dari Belanda, Hardjo kembali bersama keluarganya dan juga ribuan orang Jawa lain di kapal KM Langkuas yang disewa secara khusus menuju Sumatra dan berdiam di Tongar, Sumatera Barat. Dengan kerja keras mereka membangun masyarakat namun terganggu akibat kejadian PRRI di Sumatra antara tahun 1957-1959. Banyak yang pergi dari desa itu ke tempat lain, misalnya ke Duri yang di sana ada perusahaan minyak Caltex Pacific Oil Company (sekarang Chevron Pacific Indonesia), Padang yang ada Portland Cement, dan ke Jakarta. Pada tahun 1967, desa tersebut diperluas dengan adanya sejumlah transmigran dari Jawa.
Pembangunan kembali berjalan dan pada tahun 1988 'desa Suriname' dinyatakan sebagai desa paling maju di Sumbar. Dari generasi mudanya, bermunculanlah dokter, insinyur, pengusaha, dan juga bekas duta besar Indonesia untuk Amerika Serikat. Hardjo tetap tinggal di Tongar hingga kematiannya pada bulan Juli 1993. Salah satu pendiri desa, J.W. Kariodimedjo, yang membuka Perwakilan Negara Republik Indonesia pertama di Suriname, juga turut ke Indonesia hingga mencapai jabatan tinggi di Pertamina dan tinggal di Yogyakarta.
Rujukan
Sumber
- Breunissen K. Ik heb Suriname altijd liefgehad: Het leven van de Javaan Salikin Hardjo, Leiden, KITLV Uitgeverij, 2001. ISBN 90-6718-183-8