Pulasan adalah warna dan corak hias yang digunakan dalam heraldik. Pemilihan, pembubuhan, dan penjabaran pulasan secara tepat merupakan salah satu unsur terpenting dalam seni rancang heraldik.
Sejarah
Pulasan sudah dipakai sedari awal terbentuknya tatanan heraldik Eropa pada abad ke-12 dan ke-13, tetapi jumlah serta kaidah pembubuhan dan penjabaran pulasan berkembang seiring perjalanan waktu, dengan munculnya variasi-variasi dan cara-cara baru.
Pulasan-pulasan pokok sudah dibakukan sedari awal pembentukan tatanan heraldik pada abad ke-12 dan ke-13. Kaidah pemakaian dua pulasan logam, lima pulasan warna, dan dua pulasan kulit bulu dibakukan ketika ilustrasi-ilustrasi heraldik berwarna muncul untuk pertama kalinya pada pertengahan abad ke-13. Semenjak saat itu, mayoritas karya seni heraldik dibuat dengan menggunakan 9 macam pulasan pokok ini.[1][2]
Seiring perjalanan waktu, muncul variasi-variasi dari pulasan-pulasan pokok, khususnya pulasan kulit bulu, kendati pihak-pihak yang berwenang di bidang heraldik berbeda pendapat soal apakah variasi-variasi ini patut dianggap sebagai pulasan-pulasan tersendiri, ataukah sekadar sebagai cabang-cabang dari pulasan-pulasan pokok. Ada dua pulasan warna tambahan yang sudah dianggap lazim oleh sastrawan heraldik pada umumnya, kendati pulasan tambahan ini jarang dipakai, dan akhirnya diberi sebutan noda, lantaran dipercaya melambangkan aib si penyandang lambang.[3] Praktik menggambar bubuhan-bubuhan tertentu semirip wujud aslinya, yang dikenal dengan istilah alami, dimapankan pada abad ke-17. Kendati jarang, warna-warna lain juga sesekali dipakai sejak abad ke-18, teristimewa dalam heraldik Eropa daratan. Warna-warna lain ini tidak pernah dianggap bersifat heraldik maupun dianggap sebagai salah satu dari pulasan pokok dalam seni rancang heraldik.[4]
Kekerapan pemakaian dan ciri khas nasional
Kekerapan penggunaan pulasan-pulasan tertentu dari masa ke masa sudah sangat sering diamati, tetapi jarang sekali dikaji. Meskipun demikian, ada sejumlah catatan mengenai kecenderungan umum dan kegemaran memakai pulasan tertentu dari satu daerah ke daerah lain, seiring perjalanan waktu.
Dalam heraldik Abad Pertengahan, merah merupakan pulasan yang paling umum dipakai, disusul perak, kemudian emas. Setidak-tidaknya salah satu dari ketiga pulasan ini mesti muncul dalam kebanyakan lambang kebesaran (lihat di bawah). Dari sekian banyak pulasan warna yang ada, hitam merupakan pulasan kedua yang paling umum dipakai, disusul biru. Kendati sudah dikenal sedari awal terbentuknya tatanan heraldik, pulasan hijau relatif jarang dipakai.[5] Seiring perjalanan waktu, pulasan biru menjadi kian digemari melebihi hitam, sementara merah, yang tetap menjadi pulasan paling umum, kian kurang dominan. Salah satu kajian atas lambang kebesaran Prancis pada abad ke-17 menyingkap terbelahnya kecenderungan pemakaian pulasan-pulasan tertentu dalam pembuatan lambang kebesaran yang dianugerahkan kepada kaum ningrat dan rakyat jelata. Di kalangan ningrat, merah tetap menjadi pulasan yang paling umum dipakai, disusul emas, kemudian perak dan biru dalam kadar yang nyaris berimbang; hitam berada jauh di urutan ke-5, sementara hijau tetap saja jarang dipakai. Di kalangan rakyat jelata, biru adalah pulasan yang paling umum dipakai, disusul emas, kemudian merah, perak, dan hitam, yang lebih banyak dipakai rakyat jelata ketimbang kaum ningrat; pulasan hijau bahkan lebih langka lagi dijumpai pada lambang-lambang kebesaran rakyat jelata.[6] Sedemikian langkanya pulasan ungu dalam heraldik Prancis membuat sejumlah pihak yang berwenang di bidang heraldik tidak menganggapnya sebagai "pulasan sejati".[7]
Secara keseluruhan, heraldik Prancis terkenal menonjolkan pulasan biru dan emas, sementara heraldik Inggris terkenal menonjolkan pulasan merah dan perak. Berbeda dari heraldik Prancis, heraldik Inggris secara teratur memakai pulasan hijau, dan adakalanya juga ungu, sementara heraldik Jerman terkenal menonjolkan pulasan emas dan hitam.[1] Heraldik Jerman dan negara-negara di kawasan utara Eropa jarang sekali memakai pulasan ungu maupun pulasan kulit bulu cerpelai, kecuali pada mantel, mantel anjungan, serta pelipit mahkota dan kopiah.[8] Pulasan kulit bulu memang jarang didapati pada lambang-lambang kebesaran Jerman dan negara-negara di kawasan utara Eropa.[9]
Warna dan corak dalam heraldik terbagi menjadi tiga macam, yang lazim disebut logam, warna, dan kulit bulu.
Pulasan logam
Pulasan-pulasan logam adalah emas dan perak. Kedua pulasan ini melambangkan logam-logam mulia sesuai namanya, dan masing-masing diwakili oleh warna kuning dan putih.[10][11]
Emas (bahasa Jerman: Gelb, Gold, atau golden; bahasa Prancis: or).[12] Pulasan ini dapat ditampilkan dalam wujud warna kuning maupun warna keemasan, tergantung pada selera senimannya. Dalam ilmu heraldik, warna kuning tidak memiliki makna selain "pulasan emas".[10]
Perak (bahasa Jerman: Weiß, Weiss, Silber, atau silbern; bahasa Prancis: argent).[12] Kendati sesekali ditampilkan dalam wujud warna keperakan atau abu-abu pucat, pulasan ini lebih sering diwakili oleh warna putih. Salah satu sebabnya adalah karena cat warna keperakan cenderung teroksidasi sehingga kian lama kian menghitam.[i] Sebab lainnya adalah karena warna putih membuat warna-warna lain tampak lebih mencolok.[10] Kendati warna putih sudah lazim dipakai untuk mewakili "pulasan perak", sejumlah pihak yang berwenang di bidang heraldik berpendapat bahwa warna putih sepatutnya diakui sebagai pulasan tersendiri.[13]
Warna
Ada lima pulasan warna yang dikenal sedari awal terbentuknya tatanan heraldik, yakni merah, hitam, biru, hijau, dan ungu.
Ada dua macam warna lagi yang akhirnya diakui oleh sebagian besar dari pihak-pihak yang berwenang di bidang heraldik, yakni darah (warna merah darah) atau murbei (warna buah murbei) dan samak (warna kulit samakan, warna jingga atau nuansa warna dari kuning tua sampai cokelat muda). Warna-warna ini diberi sebutan "noda" oleh beberapa sastrawan heraldik terkemuka, dan dianggap melambangkan aib si penyandang lambang, tetapi sesungguhnya tidak ada bukti kalau warna-warna ini memang pernah dipakai sebagai lambang aib, dan mungkin sekali muncul sebagai variasi-variasi belaka dari warna-warna heraldik yang sudah ada sebelumnya.[3][16] Meskipun demikian, keyakinan bahwa warna-warna ini melambangkan aib si penyandang lambang membuat penggunaan warna-warna "noda" tidak meluas, dan baru belakangan ini mulai digunakan secara teratur.[17]
Keterangan
^Cat aluminium pernah pula digunakan untuk mewakili pulasan perak, karena lebih tahan terhadap oksidasi, tetapi kilaunya juga memudar seiring berlalunya waktu.
1 Nontradisional berarti tidak umum digunakan dalam heraldik, biasanya muncul dalam lambang-lambang kebesaran regional atau modern, kadang-kadang dianggap bukan bagian dari heraldik