Penyakit autoimun

Penyakit autoimun atau bencirih adalah keadaan patologis yang timbul dari respon imun abnormal terhadap zat dan jaringan yang biasanya muncul dalam tubuh (antigen diri).

Pengobatan penyakit autoimun biasanya dengan agen imunosupresif yang menurunkan respons imun. Pengobatan model baru yaitu penghambat sitokin (penghambat jalur sinyal sitokin) dan penghilangan efektor sel T dan sel B (misal terapi anti-CD20 pada sel B).[1]

Faktor risiko

Sejauh ini penyebab penyakit autoimun masih belum diketahui. Meski demikian, ada beberapa faktor yang memicu seseorang berisiko menderita penyakit autoimun.

  • Genetik, yaitu haplotipe HLA tertentu meningkatkan risiko penyakit autoimun
  • Kelamin, yaitu wanita lebih sering daripada pria
  • Infeksi, yaitu virus Epstein-Barr, mikoplasma, streptokokus, Klebsiella, malaria, berhubungan dengan beberapa penyakit autoimun;
  • Sifat autoantigen, yaitu enzim dan protein (heat shock protein) sering sebagai antigen sasaran dan mungkin bereaksi silang dengan antigen mikrob
  • Obat-obatan, yaitu obat tertentu dapat menginduksi penyakit autoimun
  • Usia, sebagian besar penyakit autoimun terjadi pada usia dewasa

Pengobatan

Pengobatan diperlukan untuk mengontrol reaksi autoimun dengan menekan sistem kekebalan tubuh. Namun, beberapa obat digunakan reaksi autoimun juga mengganggu kemampuan tubuh dalam melawan penyakit, terutama infeksi.

Obat yang menekan sistem kekebalan tubuh (imunosupresan) contohnya azatiopirin, klorambusil, siklofosfamid, mikofenolat, dan metoreksat. Kortikosteroid seperti prednison sering diberikan secara oral, yang mampu mengurangi radang sebaik menekan sistem kekebalan tubuh. Kortikosteroid yang digunakan dalam jangka panjang memiliki banyak efek samping.

Etanercept, infliximab, dan adalimumab adalah contoh obat-obat yang menghalangi aksi Faktor nekrosis tumor-alfa (TNF). Obat ini sangat efektif dalam mengobati artritis reumatoid (RA), tetapi bisa menyebabkan efek pada tubuh menjadi lebih mudah terkena infeksi.[2]

Obat lain bertarget pada sel darah putih yaitu abatacept yang menghalangi pengaktifan sel T dan dipakai pada RA. Rituximab, suatu obat antikanker juga efektif dalam pengobatan RA.

Plasmapheresis digunakan untuk mengobati beberapa gangguan autoimun. Darah dialirkan dan disaring untuk menyingkirkan antibodi abnormal. Lalu darah yang disaring dikembalikan kepada pasien.[3]

Referensi

  1. ^ Harrison's Principles of Internal Medicine: Volumes 1 and 2, 18th Edition (dalam bahasa English) (edisi ke-18 edition). McGraw-Hill Professional. 2011-08-11. ISBN 9780071748896. 
  2. ^ Cantini F, Niccoli L, Goletti D (2014). "Adalimumab, etanercept, infliximab, and the risk of tuberculosis: data from clinical trials, national registries, and postmarketing surveillance". J Rheumatol Suppl. 91: 47–55. doi:10.3899/jrheum.140102. PMID 24789000. 
  3. ^ Lehmann HC, Hartung HP, Hetzel GR, Stüve O, Kieseier BC (2006). "Plasma exchange in neuroimmunological disorders: Part 1: Rationale and treatment of inflammatory central nervous system disorders". Arch Neurol. 63 (7): 930–5. PMID 16831960.