Pengobatan dan penangangan COVID-19 (bahasa Inggris: Treatment and management of COVID-19) hingga saat ini belum ditemukan secara spesifik dan efektif.[1] Sehingga, cara umum yang bisa dilakukan dalam penanganan COVID-19 yakni dengan dukungan perawatan suportif, yang termasuk di dalamnya ialah pengobatan untuk meredakan gejala, melakukan terapi cairan, pemberian dukungan oksigen dan pengobatan sesuai kebutuhan pasien dengan obat-obatan khususnya untuk mendukung organ vital tubuh yang mengalami dampak buruk dari COVID-19.[2][3][4]
Sebagian besar penderita COVID-19 tergolong ringan. Dalam hal ini, dukungan perawatan suportif berupa obat-obatan seperti parasetamol atau NSAID dibutuhkan untuk meredakan gejala yang umum terjadi (seperti demam, nyeri tubuh, batuk), adanya asupan cairan yang tepat, istirahat, dan wajib bernafas melalui hidung (pernapasan hidung).[5][6][7] Menjaga kebersihan tubuh dengan baik dan melakukan diet sehat juga direkomendasikan para ahli untuk penanganan COVID-19.[8] Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Centers for Disease Control and Prevention, disingkat CDC) menyarankan agar kasus yang dicurigai mengidap virus untuk mengisolasi diri di rumah dan memakai masker wajah.[9]
Pasien dengan kasus yang lebih parah memerlukan perawatan di rumah sakit. Dan pasien yang memiliki kadar oksigen rendah, disarankan untuk menggunakan glukokortikoid deksametason, karena dapat mengurangi risiko kematian.[10][11][12] Masuk ke unit perawatan intensif untuk ventilasi mekanis mungkin diperlukan untuk mendukung pernapasan. Oksigenasi membran ekstrakorporeal (Extracorporeal membrane oxygenation, disingkat ECMO) telah banyak digunakan untuk mengatasi masalah gagal napas, namun manfaatnya masih dalam tahap pertimbangan.[13]
Beberapa pengobatan eksperimental sedang dipelajari secara aktif di uji klinis.[1] Pada awal pandemi COVID-19 ada beberapa pengobatan dianggap baik, seperti hydroxychloroquine dan lopinavir/ritonavir, namun melalui penelitian menemukan bahwa obat tersebut tidak efektif atau bahkan berbahaya untuk dikonsumsi.[1][14][15] Penelitian masih sedang berlangsung, akan tetapi belum ada obat yang bisa direkomendasikan sebagai pengobatan dini.[14][15] Namun demikian, di Amerika Serikat, ada dua terapi berbasis antibodi monoklonal yang bisa digunakan sebagai pengobatan awal untuk kasus yang dianggap memiliki risiko tinggi berkembang menjadi penyakit yang parah.[15] Antiviral remdesivir telah tersedia di Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan beberapa negara lain; namun, cara ini tidak disarankan untuk orang yang membutuhkan ventilasi mekanis, dan sama sekali tidak disarankan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO),[16] karena bukti kemanjurannya masih terbatas.[1]
Sejak bulan Februari 2021, di Amerika Serikat, remdesivir memiliki persetujuan FDA untuk pasien COIVD-19 tertentu, dan ada Otorisasi Penggunaan Darurat untuk penggunaan baricitinib, bamlanivimab, bamlanivimab/etesevimab, dan casirivimab/imdevimab.[17] Sementara di Uni Eropa, penggunaan deksametason telah didukung, dan remdesivir memiliki Izin pemasaran bersyarat.[18] Penggunaan deksametason memiliki manfaat klinis untuk mengobati COVID-19, sebagaimana ditentukan berdasarkan hasil uji coba terkontrol secara acak.[19][20] Pada awal penelitian, remdesivir memiliki manfaat dalam mencegah kematian dan memperpendek durasi penyakit, namun hal ini tidak didukung berdasarkan uji coba berikutnya.[1]
Beberapa obat antivirus COVID-19 sedang diteliti, namun belum ada obat yang terbukti efektif mematikan virus berdasarkan uji coba terkontrol acak yang sudah dipublikasikan.[21] Keamanan dan efektivitas plasma sembuh sebagai pilihan dalam pengobatan juga masih memerlukan penelitian lebih lanjut.[22] Percobaan lain sedang dilakukan, apakah obat-obatan dapat digunakan secara efektif untuk melawan reaksi kekebalan tubuh terhadap infeksi SARS-CoV-2.[21][23] Penelitian untuk menemukan pengobatan yang potensial telah dimulai sejak Januari 2020,[24] dan beberapa obat antivirus masih sedang dalam uji klinis.[25][26] Menemukan dan mengembangkan obat baru masih dilakukan hingga tahun 2021,[27] dan beberapa obat yang telah diuji sudah disetujui untuk kegunaan lain atau sudah dalam tahap pengujian lebih lanjut.[28] Pengobatan antivirus dapat diberikan pada pasien dengan tingkat penyakit yang parah.[2] Dan WHO merekomendasikan para sukarelawan untuk mengambil bagian dalam uji coba keefektifan dan keamanan perawatan yang potensial.[29]
Melakukan terapi antibodi monoklonal, bamlanivimab/etesevimab dinyatakan dapat mengurangi jumlah pasien rawat inap, mengurangi jumlah kunjungan ruang gawat darurat dan atau mengurangi jumlah kematian sekitar 60-70%.[30][31] Kedua obat kombinasi tersebut memiliki izin penggunaan darurat oleh Food and Drug Administration Amerika Serikat.[30][31]
Mengonsumsi obat bebas seperti parasetamol atau ibuprofen, minum cairan, dan istirahat yang cukup, dapat membantu meringankan gejala yang muncul.[32][33] Merujuk pada tingkat keparahan pasien, penggunaan terapi oksigen dan cairan intravena memungkinkan untuk dilakukan.[34] Beberapa obat yang dianggap ampuh untuk mengobati, namun dalam penelitian, ternyata tidak efektif dan bahkan tidak aman untuk dikonsumsi pasien, beberapa obat tersebut termasuk diantaranya; baloxavir marboxil, favipiravir, lopinavir / ritonavir, ruxolitinib, klorokuin, hidroksiklorokuin, interferon β-1a, dan juga kolkisin.[12]
Sebagian besar pasien COVID-19 masuk dalam kategori tidak parah dan tidak memerlukan ventilasi mekanis atau alternatifnya, namun beberapa kasus memerlukan ventilasi mekanis.[35][36] Jenis bantuan pernapasan untuk pasien COVID-19 yang mengalami gagal napas sedang dipelajari secara aktif, dan beberapa bukti bahwa intubasi dapat dihindari dengan high flow nasal cannula atau dwi-level positive airway pressure.[37] Dan tidak diketahui apakah salah satu dari keduanya bisa memberikan manfaat yang sama bagi orang yang sakit kritis.[38] Beberapa dokter lebih suka tetap menggunakan ventilasi mekanis invasif bila tersedia karena teknik ini dapat membatasi penyebaran partikel aerosol.[35]
Ventilasi mekanis telah dilakukan kepada 79% pasien kritis di rumah sakit, termasuk 62% yang sebelumnya telah menerima perawatan lain. Dari jumlah tersebut 41% meninggal, berdasarkan hasil penelitian di Amerika Serikat.[39]
Isolasi mandiri sangat direkomendasikan bagi orang-orang yang terinfeksi COVID-19 ringan atau yang dicurigai telah terinfeksi meskipun mereka tidak memiliki gejala spesifik, guna mencegah penularan virus dan membantu mengurangi beban pada fasilitas pelayanan kesehatan.[32] Di banyak yurisdiksi, seperti di Britania Raya, melakukan isolasi mandiri sangat diwajibkan dan telah diatur oleh Undang-Undang Koronavirus 2020.[41] Panduan tentang cara isolasi mandiri berbeda-beda di setiap negara; seperti CDC di Amerika Serikat dan Layanan Kesehatan Nasional di Britania Raya telah mengeluarkan instruksi khusus, seperti halnya otoritas lokal lainnya.[41][42] Ventilasi ruangan yang memadai, rutin menjaga kebersihan dan desinfeksi, serta menjaga kebersihan pembuangan limbah juga penting untuk mencegah penyebaran COVID-19 lebih lanjut.[43]
Beberapa orang mungkin akan mengalami tekanan akibat diberlakukannya karantina, pembatasan perjalanan, efek samping pengobatan, atau juga mengalami ketakutan akan penyakit itu sendiri. Untuk mengatasi masalah ini, pada tanggal 27 Januari 2020, Komisi Kesehatan Nasional Tiongkok menerbitkan sebuah pedoman nasional untuk intervensi krisis psikologis.[44][45]
The Lancet menerbitkan 14 halaman himbauan yang berfokus di Inggris dan menyatakan bahwa pandemi COVID-19 menimbulkan masalah kesehatan mental dan cenderung dialami oleh banyak orang. BBC mengutip pendapat Rory O'Connor yang mengatakan, "Peningkatan isolasi mandiri, kesepian, kecemasan kesehatan, stres, dan kemerosotan ekonomi adalah badai yang sempurna untuk bisa membahayakan kesehatan dan kesejahteraan mental seseorang.."[46][47]
|url-status=
|s2cid=
|name-list-style=
|date=
(Indonesia)
Lokasi Pengunjung: 3.23.102.118