Plaatsvervulling atau penggantian waris yaitu seseorang yang menerima harta warisan dari pewaris bukan karena kedudukan sendiri melainkan menggantikan kedudukan orang lain yang seharusnya menerima warisan.[1]Plaatsvervulling harus memenuhi tiga syarat supaya dapat bertindak.
Syarat
Menurut Soerjopratikno, tiga syaratnya adalah sebagai berikut.[2]
Orang yang digantikan tempatnya maka harus meninggal lebih dahulu;
Orang yang menggantikan tempat orang lain, maka merupakan keturunan yang sah dari orang yang digantikan bersifat harus. Maka anak luar kawin tidak dapat menggantikan tempat ayah atau ibunya, karena anak tersebut tidak memiliki hubungan keluarga sedarah yang sah dengan pewaris.
Terkait yang menggantikan maka harus memenuhi syarat-syarat sebagai ahli waris, di antaranya: (1) tidak menolak untuk menerima warisan, (2) tidak dinyatakan tidak patut terkait menerima warisan atau dinyatakan tidak cakap untuk menerima warisan melalui sebuah wasiat.
Menurut Pitlo, syarat-syaratnya adalah sebagai berikut.[3]
Orang yang menggantikannya, harus memenuhi syarat ahli waris. Maka ia tidak boleh tidak pantas serta tidak boleh dicabut hak waris oleh pewaris untuk mewarisi dengan testamen.
Orang yang digantikan tempatnya, maka harus sudah meninggal terlebih dahulu. Sehingga orang yang masih hidup tidak dapat dilakukan penggantian.
Penggantian harus oleh keturunan yang sah.
Tidak cakap
Orang yang tidak cakap mewarisi surat wasiat diatur dalam Pasal 912 KUH Perdata dengan penjelasan sebagai berikut.[4]
Orang telah dihukum karena membunuh pewaris.
Orang sudah melakukan terkait membinasakan, menggelapkan dan memalsukan surat wasiat
Orang dengan secara kekerasaan atau paksa untuk mencegah pewaris, dengan mencabut atau merubah surat wasiat.
Jika isteri (suami) dan anak-anak dari orang yang tidak cakap diatas juga tidak boleh mendapat keuntungan terkait testamen.
Menurut Pitlo, terdapat perbedaan antara tidak cakap dan tidak patut. Apabila tidak cakap, maka pembatalannya harus dituntut, sedangkan apabila tidak patut, maka dengan sendirinya batal.[3] Cakap masuk dalam bidang hukum waris testamentair, sedangkan patut masuk dalam hukum waris menurut undang-undang.
^Soerjopratiknyo, Hartono (1983). Hukum Waris Tanpa Wasiat. Yogyakarta: Seksi Notariat Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^ abPitlo, A. (1979). Hukum Waris Menurut Undang-Undang Hukum Perdata Belanda Jilid I. Jakarta: Intermesa.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Artikel ini tidak memiliki kategori atau memiliki terlalu sedikit kategori. Bantulah dengan menambahi kategori yang sesuai. Lihat artikel yang sejenis untuk menentukan apa kategori yang sesuai. Tolong bantu Wikipedia untuk menambahkankategori. Tag ini diberikan pada Februari 2023.