Papua Selatan adalah salah satu provinsi di Indonesia yang telah dimekarkan dari provinsi Papua.[2][6] Ibu kotanya berada di Kabupaten Merauke, tepatnya di Kota Terpadu Mandiri (KTM) Salor di Distrik Kurik sekitar 60 km dari kota Merauke.[2][3] Papua Selatan dimekarkan dari provinsi Papua bersama dua provinsi lainnya yakni provinsi Papua Pegunungan dan Papua Tengah berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2022, yang ditandatangani presiden Indonesia, Joko Widodo, tanggal 25 Juli 2022.[2][7]
Papua Selatan berada di dataran rendah yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini dengan banyak rawa-rawa dan sungai besar seperti Digul dan Maro. Wilayah ini memiliki hasil bumi seperti sagu dan ikan yang menghidupi suku-suku di tepian sungai dan pantai seperti Marind, Asmat, Kombay, Koroway, Muyu maupun suku-suku lainnya. Suku-suku di Papua Selatan termasuk dalam wilayah adat Anim Ha. Mereka umumnya menggunakan perahu dayung dan membuat ukiran-ukiran kayu khususnya Asmat. Papua Selatan terdapat Taman Nasional Wasur yang memiliki kekayaan hayati yang tinggi seperti walabi, musamus atau rumah semut raksasa, dan cenderawasih.[11][12][13][14]
Sejarah
Masa Kolonial
Barang-barang pemburu kepala Asmat
Sebelum datangnya bangsa Eropa, wilayah rawa-rawa Papua Selatan dihuni oleh berbagai suku seperti Asmat, Marind, dan Wambon yang masih menjaga tradisinya. Suku Marind atau disebut juga Malind dulunya hidup berkelompok di sepanjang sungai-sungai di wilayah Merauke dan hidup dengan berburu, meramu, dan berkebun. Selain itu orang Marind juga dikenal sebagai suku pengayau atau pemburu kepala (headhunting). Orang Marind menggunakan perahu mengarungi sungai dan pantai menuju kampung yang jauh dan memenggal kepala penghuninya. Orang Marind kemudian membawa kepala korbannya untuk diawetkan dan dirayakan.[15][16][17]
Pada abad ke-19, bangsa Eropa mulai melakukan penjajahan di Pulau Papua. Pulau Papua dibelah dengan garis lurus, bagian barat masuk ke wilayah Nugini Belanda dan bagian timur masuk wilayah Inggris. Suku Malind sering melewati perbatasan tersebut untuk pergi mengayau. Sehingga pada tahun 1902, Belanda mendirikan pos militer di ujung timur Papua Selatan untuk memperkuat perbatasan dan menghilangkan tradisi tersebut. Pos ini berada di sungai Maro sehingga kemudian daerahnya sekitarnya diberi nama Merauke. Belanda juga menempatkan misi Katolik di pos ini untuk menyebarkan agamanya serta membantu menghapuskan tradisi pengayauan. Pos ini lama kelamaan semakin ramai sehingga menjadi sebuah kota. Kemudian Merauke dijadikan ibukota dari Afdeeling Zuid Nieuw Guinea atau Provinsi Nugini Selatan. Pada masa penjajahan Belanda juga, Orang Jawa didatangkan ke Merauke untuk membuka lahan persawahan.[15][17]
Anggota Suku Marind di tahun 1910
Selain sungai Maro, Belanda juga mendengar informasi tentang sungai lain yang lebih besar yang dinamakan Sungai Digul. Belanda kemudian mengirim ekspedisi kesana. Tahun 1920-an, muncul ide untuk memanfaatkan pedalaman Papua sebagai kamp tahanan. Lokasi yang cocok adalah hulu sungai Digul (Boven Digoel) yang kemudian didirikan kamp bernama Tanah Merah. Hutan yang lebat dan sungai Digul yang ganas ditambah wabah malaria menyebabkan tahanan tersiksa namun tak bisa meloloskan diri. Beberapa tokoh yang pernah ditahan disini antara lain Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir.[17][18][19] Selama perjuangan pembebasan Irian Barat, Belanda kembali menggunakan lokasi ini sebagai kamp pengasingan. Mereka kembali membangun penjara dan beberapa rumah dinas polisi. Beberapa tokoh yang pernah dipenjara disini adalah Johanes Abraham Dimara beserta pasukannya, Petrus Korwa, Hanoch Rumbrar, dll.[20] Kamp ini kemudian dipimpin oleh seorang opsir tentara yang ditugaskan sebagai fungeerend controleur (pejabat pengawas).[20][21] Setelah Belanda pergi tahun 1960-an, Tanah Merah semakin ramai sehingga menjadi distrik dan akhirnya dijadikan ibukota Kabupaten Boven Digoel.[19]
Tahanan di kamp Tanah Merah, Boven Digoel tahun 1927
Pasca Integrasi
Tahun 1960-an, seluruh Nugini Belanda berhasil dikuasai Indonesia. Bekas Zuid Nieuw Guinea diubah menjadi Kabupaten Merauke dengan ibukotanya di Distrik Merauke. Pada tahun 2002, Kabupaten Merauke dimekarkan menjadi empat kabupaten seperti sekarang yaitu Merauke, Mappi, Asmat, dan Boven Digoel. Seluruh bekas wilayah Kabupaten Merauke terdahulu yang mencakup empat kabupaten akhirnya kembali disatukan menjadi provinsi Papua Selatan pada tahun 2022. Menurut Ketua Tim Pemekaran Provinsi Papua Selatan, Thomas Eppe Safanpo, nama provinsi ditentukan tidak menggunakan kata Anim Ha, dikarenakan kata tersebut merupakan nama-nama wilayah adat yang direkayasa Belanda dan berasal dari kata Suku Marind untuk memanggil dirinya yang berarti manusia sejati, sedangkan memanggil suku di luar Marind dengan sebutan ikom yang artinya bangsa yang direndahkan. Sehingga penggunaan nama tersebut sama saja dengan mengakui dan mengangkat derajat Suku Marind, tetapi merendahkan derajat suku-suku lainnya.[22]
Tahun 2007, Bupati Merauke John Gebze menggagas Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yaitu proyek pengembangan pangan dan energi dalam skala besar dan dikelola secara terpadu untuk meningkatkan ketahanan pangan Indonesia, Merauke yang memiliki lahan yang luas dengan geografis dataran rendah dan subur cocok dijadikan lumbung pangan. Awalnya proyek ini bernama Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) yang berfokus pada padi, namun kemudian diperluas sehingga mencakup tanaman lain seperti tebu, jagung, dan kelapa sawit. Proyek ini kemudian diresmikan di tahun 2010 pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan melibatkan banyak investor swasta. Dalam perjalanannya, proyek ini kurang berhasil karena adanya perbedaan pandangan antara pemerintah, investor, dan masyarakat adat Marind sebagai pemilik lahan. Ditambah tekanan dari LSM yang menilai proyek ini terdapat pelanggaran HAM terhadap suku asli dan kerusakan lingkungan membuat perusahaan berhenti membuka lahan baru.[23][24][25] Di masa Presiden Joko Widodo, proyek Food Estate dibangkitkan kembali di berbagai wilayah dengan 200.000 hektar lahan ditetapkan untuk Pulau Papua. Komoditi utamanya yaitu jagung dan padi dan berlokasi antara lain di Mappi, Boven Digoel, dan Merauke.[26]
Perayaan terbentuknya Provinsi Papua Selatan di halaman kantor Bupati Merauke
Setelah undang-undang pembentukan Papua Selatan diresmikan, Kementerian Dalam Negeri mengirim tim Kelompok Kerja (Pokja) I Satgas Pengawalan Daerah Otonomi Baru ke Merauke untuk membantu para bupati menyiapkan segala kebutuhan dari provinsi baru tersebut seperti pegawai, lahan perkantoran, penyerahan aset dan dana hibah, anggaran sementara, serta kantor sementara. Kantor gubernur sementara berada di Gedung Negara Merauke sedangkan kantor Sekretariat Daerah (Sekda) berada di Hotel Asmat yang letaknya di seberang jalan dari Gedung Negara. Perkantoran gubernur beserta dinas provinsi nantinya akan dibangun di titik yang belum ditentukan tetapi sudah ada alternatif yang ditawarkan yaitu Kota Terpadu Mandiri (KTM) Kurik atau kawasan Kebun Coklat Tanah Miring. Kedua daerah tersebut merupakan kawasan transmigrasi.[27][28][29] Peresmian Provinsi Papua Selatan dilakukan pada 11 November 2022 bersamaan dengan pelantikan rektor Universitas Cenderawasih Apolo Safanpo sebagai penjabat gubernur Papua Selatan oleh Menteri Dalam Negeri.[4]
Sekelompok pria orang Asmat, sedang memahat sebuah ukiran dari pohon
Provinsi Papua Selatan dihuni oleh beragam suku bangsa. Data dari Badan Pusat Statistik melalui Sensus Penduduk Indonesia 2010, kelompok suku bangsa di Papua dikategorikan sebagai orang Papua dan Non Papua atau bukan penduduk asli Papua. Berdasarkan data sensus tersebut, untuk wilayah Papua Selatan, jumlah penduduk berdasarkan suku bangsa berdasarkan jenis kelamin laki-laki, bahwa sebanyak 130.050 jiwa atau 60,08% adalah orang Papua dan sebanyak 86.421 jiwa atau 39,92% adalah Non Papua. Sementara Kabupaten Merauke menjadi kabupaten di Papua Selatan yang didominasi oleh suku pendatang atau bukan asli Papua.[31]
Provinsi ini terdapat satu perguruan tinggi negeri yaitu Universitas Musamus Merauke (UNMUS). Sekolah ini awalnya bernama Sekolah Tinggi Teknologi Merauke (STTM) yang berdiri di tahun 2001 kemudian berubah status menjadi perguruan tinggi negeri di tahun 2010.[32] Merauke juga memiliki kampus D3 Keperawatan dibawah Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Jayapura. Selain perguruan tinggi negeri dan kedinasan diatas juga terdapat perguruan tinggi swasta,[33] antara lain:
Taman Nasional Wasur merupakan bagian dari lahan basah terbesar di Papua dan sedikit terganggu oleh aktivitas manusia.[34] Biodiversitasnya membuat taman ini dijuluki sebagai "Serengeti Papua".[34]
Sekitar 70% dari luas wilayah ini terdiri dari sabana, sementara vegetasi lainnya merupakan hutan rawa-rawa, hutan monsoon, hutan pantai, hutan bambu, padang rumput dan hutan sagu. Tanaman yang dominan meliputi spesies mangrove, triwulan, dan melaleuca serta fauna seperti walabi dan cendrawasih.[34] Taman Nasional Wasur ini terletak di Kabupaten Merauke. Daerah ini ditetapkan sebagai taman nasional oleh Menteri Kehutanan di tahun 1990 dengan menggabungkan Cagar Alam Rawa Biru dan Suaka Margasatwa Wasur yang sudah ditetapkan sejak 1978.[35]
Musamus
Musamus di TN Wasur
Musamus adalah salah satu keanekaragaman hayati di Merauke, Papua Selatan. Musamus adalah bangunan yang menjulang tinggi hingga 5 meter yang dibangun oleh rayap dari golongan Macrotermes. Musamus terbuat dari tanah dengan perekat dari rumput dan air liur serta di dalamnya terdapat lorong-lorong sebagai tempat tinggal koloni rayap. Musamus juga dilengkapi rongga ventilasi untuk mengatur suhu dan kelembapan di dalam struktur ini. Musamus umumnya ditemukan di padang sabana Taman Nasional Wasur, namun juga terdapat kumpulan musamus yang ditemukan di kampung Salor Indah. Warga Salor Indah yang mayoritas berprofesi sebagai petani mengubah area tempat musamus tersebut berada sebagai tempat wisata dengan nama Taman 1000 Musamus.[36][37]
Kota Agats
Kota Agats dari atas
Kota Agats adalah ibukota Kabupaten Asmat. Asmat memiliki geografis rawa-rawa berlumpur yang masih asri dengan sebagian besar bangunan dan jalannya dibangun terangkat dari tanah. Kebanyakan jalan di Asmat terbuat dari papan kayu sedangkan di Agats sudah banyak yang dirubah menjadi beton. Penduduk asli Agats umumnya berprofesi sebagai nelayan sedangkan pendatang membuka usaha lain. Berbeda dengan wilayah lainnya di Indonesia, sepeda motor listrik lebih banyak dipakai di Agats daripada kendaraan berbahan bakar bensin. Kota Agats untuk saat ini tidak memiliki jalur darat yang terhubung dengan kabupaten lain, harus memakai kapal atau dengan pesawat.[38] Pemerintah Kabupaten Asmat bekerjasama dengan Keuskupan Agats mengadakan acara tahunan yaitu Festival Budaya Asmat di Agats untuk memperkenalkan kebudayaan Suku Asmat seperti ukiran kayu dan atraksi perahu.[39]
Kebudayaan
Senjata tradisional
Pisuwe khas Papua Selatan
Salah satu senjata tradisional di Papua Selatan adalah pisuwe. Senjata ini diambil dari tulang pahamanusia atau tulang burung kasuari, dan bulunya menghiasi hulu belati tersebut. senjata utama penduduk asli Papua lainnya adalah busur dan panah. Busur tersebut dari bambu atau kayu, sedangkan tali Busur terbuat dari rotan. Anak panahnya terbuat dari bambu, kayu atau tulang kanguru. Busur dan panah umumnya dipakai untuk berburu atau berperang.[40]
Referensi
^ ab"UU Nomor 14 Tahun 2022". peraturan.bpk.go.id. 25 Juli 2022. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-30. Diakses tanggal 30-07-2022.Periksa nilai tanggal di: |accessdate= (bantuan)
^ abDaeli, Onesius Otenieli (2018). "Spiritualitas dan Transformasi". Melintas : An International Journal of Philosophy and Religion. Fakultas Filsafat UNPAR. 34 (1). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-04. Diakses tanggal 2022-07-01.
^"SWASEMBADA PANGAN DI MERAUKE"(PDF). mediaBPP : Jendela Informasi Kelitbangan. Kementerian Dalam Negeri. 15 (1): 25. 2016. Diarsipkan(PDF) dari versi asli tanggal 2022-07-01. Diakses tanggal 2022-07-30.
^"Taman Nasional Wasur". tamannasionalwasur.com. Balai Taman Nasional Wasur. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-08. Diakses tanggal 2022-09-04.