Raden Timbakal bergelar Pangeran Dipati Marta Sari atau Raja Martasahary (bin Pangeran Mangkunagara/Raden Subamanggala) atau menurut ejaan Belanda pangeran Kiai Adepatty Marta Sahary[1] adalah seorang Adipati senior di Kesultanan Banjar. Ia merupakan adik ipar raja Banjar Sultan Mustain Billah[1][2][3][4]
Upaya kudeta
Pangeran Martasari pernah berusaha melakukan kudeta terhadap Raja Banjar V sultan Ratu Agung alias Sultan Inayatullah ( Pangeran Dipati Tuha 1) bin Sultan Mustain Billah Raja Banjar IV yang merupakan kakak iparnya sendiri, karena Pangeran Martasari sebenarnya menikahi adik bungsu dari Sultan Inayatullah yaitu Putri Busu yang bergelar Ratu Hayu 1 yang merupakan janda Raden Timbako / Pangeran Singasari (kakak Pangeran Martasari) yang tiga tahun sebelumnya tewas terbunuh oleh Si Bagar.[2] Sekitar pertengahan abad ke-17 ada seorang pangeran Bandjermasin, MERTASARI, yang menetap di Mendawei sebagai orang yang tidak menyenangkan, yang ingin mendirikan kerajaannya sendiri di sini, dan karena itu dikirim ke Jawa untuk meminta bantuan. Sang Ratoe-Ageng, istri Panembahan MARRHOEM, dan sementara waktu menjadi raja karena tidak berperasaannya raja, membuat seluruh penduduk berpindah dari Mendawei ke Martapura, Bandjermasin, sehingga Pangeran MERTASARI tetap lebih banyak dihuni oleh tanah dan air yang tidak dihuni.[5][6]
Hikayat Banjar-Kotawaringin menyebutkan tentang upaya kudeta oleh Pangeran Martasari terhadap Sultan Inayatullah Raja Banjar V:
Sudah itu tersebutlah perkataan Pangeran Martasari pergi maadam ke Mendawai serta menyuruh pergi ke Mataram minta bantu hendak membalik arah Ratu Agung itu. Maka dengan takdir Allah, Pangeran Martasari itu sakit lalu sumalah di Mendawai. Mayatnya dibawa orang ke Martapura itu, dipatak di istana.[2]
Silsilah
Ayahanda Pangeran Martasari adalah Pangeran Mangkunagara.
Menurut Johannes Jacobus Ras (dalam Hikayat Banjar), Pangeran Mangkunagara merupakan gelar Pangeran dari Raden Subamanggala.
Raden Subamanggala putera Sultan Hidayatullah 1 Raja Banjar III dari isteri gahara (isteri keturunan raja) yaitu Putri Nur Alam binti Pangeran di Laut, yang merasa lebih berhak menduduki tahta dibandingkan saudara tirinya Sultan Mustainbillah yang berasal dari keturunan dari istri seorang mantri keturunan Biaju (Dayak).
Hikayat Banjar-Kotawaringin menyebutkan tentang anak-anak Pangeran Martasari dari istri gahara dan gundik:
.....Kemudian daripada itu Pangeran Martasari lawan Ratu Hayu itu beranak pula laki-laki dinamai Raden Pamakas. Banyak tiada tersuratkan. Kemudian daripada itu maka Pangeran Dipati Antasari sumalah. Sudah kemudian daripada itu maka Pangeran Martasari itu menggundik orang Jawa namanya Si Jawa itu beranak laki-laki dinamai Raden Marabut. Sudah itu Pangeran Dipati Tuha lawan Gusti Timbuk itu beranak laki-laki dinamai Raden Kasuma Lalana. Ia itu sesusu dengan Raden Marabut itu.[2]
Hikayat Banjar-Kotawaringin menyebutkan tentang anak-anak Pangeran Martasari dari gundik-gundik:
Yang lain daripada itu maka gundik Pangeran Martasari - Si Jawa itu beranak pula dua orang laki-laki, namanya Raden Modin, yang muda bernama Raden Chatib, seibu sebapa lawan Raden Marabut itu. Gundik seorang itu orang Jawa jua itu namanya Si Pasupit itu beranak dua orang, seorang perempuan namanya Gusti Bajah, seorang laki-laki namanya Raden Pakih.[2]