Komodifikasi media adalah suatu proses transformasi untuk mengubah barang dan jasa menjadi suatu produk yang memiliki nilai jual dilihat dari perspektif ekonomi politik media,[1] bahkan cenderung lebih mengutamakan perolehan keuntungan daripada menjadikan media sebagai tontonan yang informatif dan edukatif.[2]
Ekonomi politik media melibatkan tiga hal yaitu pemilik media, dominasi ide dan pemikiran, serta usaha untuk mempertahankan ketidaksetaraan antara kelas penguasa dengan yang dikuasai. Karena tayangan media selalu dipengaruhi oleh pemilik media yang ingin agar usahanya stabil dari waktu ke waktu, pada akhirnya tayangan yang sedang laku di masyarakat dipertahankan sedapat mungkin. Pada akhirnya, ideologi yang ada dalam tayangan tersebut menjadi dominasi wacana yang beredar di masyarakat. Upaya dalam mempertahankan dominasi tersebut juga tidak terlepas dari kepentigan-kepentingan politik. Sehingga, dalam konteks ini ekonomi tidak melulu berperan besar, seringkali para penguasa politik menanamkan ideologinya ke dalam tayangan-tayangan di masyarakat.[3]
Komodifikasi konten
Pemilik media terus mempertahankan upayanya agar perusahaan media miliknya dapat terus eksis sehingga dampaknya adalah para penonton seolah-olah didikte dan diatur berkaitan dengan apa yang mesti mereka tonton, di sisi lain, psikologis para penonton pun merasa bahwa mereka butuh sesuatu untuk menghibur mereka, melepas penat. Dengan demikian, hal inilah yang membuat perusahaan media terus berputar otak untuk mengkomodifikasi konten dan bersaing dengan media yang lainnya untuk merebut atensi penonton. Oleh karena tujuannya ingin menghindari kerugian, beberapa media cenderung tidak memproduksi konten yang tidak akan laku di pasaran meskipun konten tersebut bisa saja edukatif maupun informatif.[1][4]
Komodifikasi audiens
Contoh dari komodifikas audiens yaitu ketika sebuah media berusaha keras menjual rating dan share dalam suatu program tayangan agar mendapatkan pemasang iklan. Dan dengan adanya kemajuan di bidang teknologi media, program tayangan tidak hanya diakses melalui televisi, tapi juga melalui youtube atau laman web. Dengan demikian, iklan tidak lagi mendasarkan segmentasi pada data demografis karena program yang ditayangkan pada saat yang sama dapat diakses diakses audiens tanpa batasan ruang dan waktu. Selain itu, jumlah audiens pun dimanfaatkan untuk mengejar pembayaran iklan berbasis pay per click, pay per view.[5]
Komodifikasi tenaga kerja
Para pekerja media merupakan ujung tombak agar proses produksi dalam perusahaan media dapat terus berjalan, sehingga ditanamkan dalam alam pikiran mereka bahwa menjadi bagian dari industri media adalah hal yang menyenangkan sehingga terjadilah semacam eksploitasi atas tenaga dan pikiran mereka. Di sisi lain, sekalipun pekerjaan tersebut melelahkan sekaligus menyenangkan, upah yang mereka terima tidak sebanding dengan upaya mereka.[6]
Referensi
- ^ a b Manggaga, Indah Pratiwi (Desember 2018). "KOMODIFIKASI KONTEN TELEVISI DALAM PERSPEKTIF EKONOMI POLITIK MEDIA". journal.uin-alauddin.ac.id. Diakses tanggal 2024-12-16.
- ^ HALIM, syaiful (2021-10-01). POSTKOMODIFIKASI MEDIA: Perayaan Varian-varian Baru Komodifikasi di Media Sosial Televisi dan Media Sosial. Penerbit Lakeisha. hlm. 6. ISBN 978-623-5536-23-1.
- ^ HALIM, syaiful (2021-07-03). Postkomodifikasi Media & Cultural Studies. Matahati Production. hlm. 44–45.
- ^ Nugroho, Dr Catur (2023-08-01). Medianomics Ekonomi Politik Media di Era Digital. Prenada Media. hlm. 18. ISBN 978-623-384-468-0.
- ^ Adila, Isma; Prasetya, Arif Budi (2020-07-31). Ekonomi Politik Komunikasi: Sebuah Realitas Industri Media di Indonesia. Universitas Brawijaya Press. hlm. 42. ISBN 978-623-296-025-1.
- ^ Maulana, Mochamad Putra; Astagini, Nuria (2021-06-07). "KOMODIFIKASI PEKERJA MEDIA TELEVISI (STUDI PADA REPORTER OLAHRAGA DI STASIUN TELEVISI SWASTA X)". KOMUNIKOLOGI: Jurnal Ilmiah Ilmu Komunikasi (dalam bahasa Inggris). 18 (01): 35. ISSN 2528-3243.