Keseimbangan batin (Pali: tatramajjhattatā) adalah suatu faktor mental indah dalam Buddhisme. Dalam aliran Theravāda, keseimbangan batin didefinisikan sebagai sikap mental yang seimbang, tidak melekat, dan tidak memihak.[1]
Cara untuk melatih tatramajjhattatā adalah dengan tidak goyah atau tetap netral dalam menghadapi delapan perubahan hidup—yang juga dikenal sebagai delapan arah mata angin duniawi atau delapan kondisi duniawi (aṭṭhaloka-dhamma): untung dan rugi, reputasi baik dan buruk, pujian dan celaan, serta kesedihan dan kebahagiaan.[2]
Definisi
Theravāda
Bhikkhu Bodhi menjelaskan:
Istilah Pali untuk cetasika ini secara harfiah berarti "di tengah-tengah." Ini adalah sinonim untuk keseimbangan batin (upekkhā), bukan sebagai perasaan netral, tetapi sebagai sikap mental yang seimbang, tidak terikat, dan tidak memihak. Keseimbangan-batin memiliki karakteristik menyampaikan kesadaran dan faktor-faktor mental secara merata. Fungsinya adalah untuk mencegah kekurangan dan kelebihan, atau untuk mencegah keberpihakan. Keseimbangan-batin terwujud sebagai kenetralan. Keseimbangan-batin harus dilihat sebagai keadaan memandang dengan keseimbangan batin dalam citta dan cetasika, seperti seorang kusir yang memandang dengan keseimbangan batin pada kuda-kuda yang melaju dengan stabil di sepanjang jalan.[1]
Ia memiliki karakteristik menyampaikan citta dan cetasika secara merata. Fungsinya adalah untuk mencegah kekurangan dan kelebihan, atau fungsinya adalah untuk menghambat keberpihakan. Ia terwujud sebagai kenetralan. Ia harus dianggap seperti seorang konduktor (pengemudi) yang melihat dengan tenang pada kuda-kuda yang melaju dengan seimbang.[3]
Nina van Gorkom menjelaskan:
Ketika ada keseimbangan batin, tidak ada suka maupun duka. Objek yang dialami dipandang dengan tidak memihak dan netral, seperti halnya seorang kusir memperlakukan kudanya yang terlatih dengan baik dengan tidak memihak. Keseimbangan-batin memengaruhi keseimbangan citta dan cetasika lain yang muncul bersamanya. Tidak ada keseimbangan batin ketika akusala citta muncul, ketika kita pemarah, serakah, tamak, atau bodoh. Sedangkan, ketika kita murah hati, menjalankan moralitas (sīla), mengembangkan ketenangan atau mengembangkan pemahaman yang benar tentang nāma dan rūpa, ada keseimbangan batin.[3]