Kerakusan atau kesengaman (bahasa Inggris: gluttony, bahasa Latin: gula) adalah perilaku menikmati kesenangan dan konsumsi berlebihan atas makanan, minuman, atau harta benda sampai pada titik pemborosan atau keroyalan. Kata gluttony sendiri berasal dari istilah Latin gluttire yang berarti meneguk atau menelan.
Dalam Kekristenan, hal ini dianggap sebagai dosa jika keinginan yang berlebihan atas makanan/minuman menyebabkan mereka yang membutuhkan menjadi tidak mendapatkannya.[1] Beberapa denominasi Kristen memandang kerakusan sebagai salah satu dari tujuh dosa pokok, yakni suatu hasrat yang keliru atau berlebihan atas makanan/minuman.
Dalam Ulangan 21:20 dan Amsal 23:21 tertulis זלל.[2] Catatan Gesenius[3] (kata sebelah kiri bawah) mengindikasikan "menghamburkan" (squandering) dan "pemborosan" (profligacy).
Dalam Matius 11:19 dan Lukas 7:34, tertulis φαγος.[4] Catatan LSJ[5] sangat sedikit, dan hanya merujuk pada satu sumber eksternal, Zenobius Paroemiographus 1.73. Kata tersebut bisa saja berarti "seorang pemakan" (orang yang makan), karena φαγω berarti "makan".
Daftar 613 mitzvot menurut Rambam yang dipegang umat Yahudi, menyatakan bahwa kerakusan atau makan/minum berlebihan adalah hal yang dilarang. Hal ini tercantum dalam #169: "Tidak makan atau minum seperti seorang pelahap atau seorang pemabuk (tidak memberontak melawan ayah atau ibu)".[6]
Paus Gregorius I (Santo Gregorius Agung), seorang Pujangga Gereja, menggambarkan berbagai hal yang termasuk dosa kerakusan, beserta kutipan dari Alkitab sebagai contohnya:[7][8][9]
1. Makan sebelum waktunya atau terlalu awal.
2. Menikmati makanan yang lezat, lebih berkualitas, atau mahal.
3. Mencari makanan yang disiapkan secara berlebihan atau kompleks (misalnya dengan saus dan bumbu yang mewah)
4. Makan dalam jumlah yang terlalu banyak atau berlebihan.
5. Makan terlalu antusias atau lahap, walaupun jumlahnya tepat dan bukan makanan mewah.
Menurut St. Gregorius Agung, hal terakhir itu (yang kelima) merupakan yang terburuk di antara semuanya, karena dengan jelas menunjukkan keterikatan pada kepuasan diri. Secara ringkas St. Gregorius mengatakan bahwa seseorang jatuh dalam dosa kerakusan karena: 1.Waktu (kapan); 2.Kualitas; 3.Stimulan; 4.Kuantitas; 5.Gairah. Ia menegaskan bahwa hasrat yang tidak teratur itu yang merupakan dosa, bukan makanannya: "Sebab bukan makanannya, tetapi hasrat tersebut yang bersalah".[10]
Dalam Summa Theologiae, St Thomas Aquinas menegaskan kembali kelima daftar yang disajikan St. Gregorius Agung (tanpa memperhatikan urutannya) mengenai dosa kerakusan:[11]
St. Aquinas menyimpulkan bahwa "kerakusan menunjukkan konkupisensi yang tak terkendali saat makan"; tiga hal pertama di atas terkait dengan makanan itu sendiri, sedangkan dua hal terakhir berkaitan dengan cara makan.[11] Ia mengatakan bahwa abstinensi dari makanan dan minuman membantu mengatasi dosa kerakusan,[12] dan tindakan nyata dari abstinensi adalah berpuasa.[13]:A2 (lihat: Puasa (Katolik)) Secara umum, puasa berguna untuk mengekang konkupisensi atau nafsu kedagingan.[13]:A6
Santo Alfonsus Liguori menuliskan hal berikut ketika menjelaskan mengenai kerakusan:
"Paus Innosensius XI mengutuk dalil yang menegaskan bahwa bukanlah dosa jika makan atau minum dengan satu-satunya alasan adalah memuaskan selera. Namun merasakan kenikmatan saat makan bukanlah suatu kesalahan: sebab, pada umumnya, tidaklah mungkin makan tanpa mengalami kenikmatan yang mana secara alamiah disebabkan oleh makanan. Tetapi merupakan suatu cacat cela jika makan, seperti binatang, dengan satu-satunya alasan yaitu pemuasan inderawi, dan tanpa alasan apa pun yang wajar. Oleh karena itu daging yang paling lezat sekalipun dapat dimakan tanpa berdosa, apabila alasannya baik dan pantas untuk seorang makhluk yang berakal budi; dan makan makanan yang paling kesat sekalipun tetapi jika terikat pada kenikmatan, mungkin ada yang salah dengannya."[14]
Kallimakhos seorang penyair terkenal dari Yunani, menuliskan, "Semua yang kuberikan pada perutku telah lenyap, dan tetap kusimpan segala pakan bagi jiwaku."[15]
Kutipan populer "Makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan" umumnya dikaitkan dengan Socrates;[16] tanpa melupakan kutipan dari Rhetorica ad Herennium IV.28: "Effe oportet ut vivas; non vivere ut edas"[17] ("Seseorang perlu makan untuk hidup, bukannya hidup untuk makan"),[18] yang mana Oxford Dictionary of Proverbs menyatakan bahwa itu adalah kata-kata Cicero.[19]
Lokasi Pengunjung: 3.141.19.156