Kemitraan Publik-Swasta

Kemitraan Publik-Swasta adalah suatu bentuk privatisasi yang melibatkan pemerintah yang memerlukan insentif modal, kebutuhan infrastruktur jangka panjang, dan perpaduan pembiayaan yang diinginkan antara sektor publik dan swasta untuk pembangunan fasilitas (yang biasanya sebagian besar biaya ditanggung oleh swasta).

Melalui kemitraan publik-swasta, pengetahuan dan sumber daya dari sektor publik dan swasta yang bekerja sama untuk memberikan layanan kepada masyarakat dan terlibat dalam kemitraan di mana sektor publik dan swasta berbagi risiko dan potensi manfaat dari penyediaan layanan atau fasilitas; dalam kemitraan publik-swasta jenis ini, sektor publik tetap mempunyai wewenang dalam perusahaan atau organisasi swasta yang diundang untuk berpartisipasi (Nugroho & Toyib, 2018).[1]

Tujuan Kemitraan Publik-Swasta

Dengan mengumpulkan dana tunai dan mengelola risiko bersama secara lebih efektif, Kemitraan Publik-Swasta bertujuan meningkatkan kapasitas pemerintah dalam memberikan layanan kepada masyarakat baik secara kuantitas maupun kualitas. Kemitraan pemerintah-swasta dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan pemerintah, menawarkan ide-ide kreatif, memangkas biaya dan waktu, mengalihkan risiko ke sektor swasta, dan memberikan akses terhadap pengetahuan, pengalaman, dan teknologi.

Sejarah Kemitraan Publik-Swasta

Pada tulisan Ismowati, M. (2016) dijelaskan bahwa sejarah dimulainya privatisasi adalah Ketika pemerintahan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher memperbolehkan pihak swasta ikut serta memiliki saham di perusahaan pemerintah/BUMN pada tahun 1979, sejarah privatisasi resmi dimulai. Dengan efektifnya pelaksanaan privatisasi di Inggris, keberhasilan privatisasi dalam mendorong peningkatan pendapatan negara melalui peningkatan kinerja profitabilitas perusahaan-perusahaan negara menjadi semakin nyata. Pemerintah Inggris pada saat itu harus menghentikan pendarahan anggaran melalui privatisasi karena tidak mampu lagi mendukung BUMN. Sebagai negara pionir, Inggris merupakan negara yang paling aktif dalam menerapkan kebijakan privatisasi. Setiap BUMN strategis, antara lain British Telecom (BT), British Airways (BA), dan British Railways (BR), dialihkan ke pihak swasta.[2]

Praktek Kemitraan Publik-Swasta di Indonesia

Menurut Abdullah, M. T. (2020) dalam tulisannya yang berjudul Model public private partnership penyediaan infrastruktur pelayanan publik: Pengalaman Indonesia dan India menyebutkan bahwa ada 7 bentuk praktek kemitraan public-swasta yang ada di Indonesia diantaranya adalah sebagai berikut:[3]

Build and Transfer (BT)

Build and Transfer (BT) adalah suatu pengaturan di mana peran kontraktor terbatas pada konstruksi proyek; setelah proyek selesai, kontraktor mengembalikan proyek tersebut kepada bowler tanpa memiliki kewenangan untuk mengawasi atau menangani keuangan proyek. Hal ini disebut sebagai proyek turnkey dalam praktik pembangunan dan transfer bila dikombinasikan dengan kontrak desain dan konstruksi atau pembagian pembiayaan penuh.

Build, Operate, Transfer (BOT)

Build, Operate, Transfer (BOT): Setelah konstruksi, badan usaha swasta mempunyai hak untuk mengelola atau mengoperasikan proyek untuk jangka waktu yang telah ditentukan, dan dalam jangka waktu tersebut mereka dapat memperoleh keuntungan. Setelah itu, proyek tersebut diserahkan kepada swasta tanpa dibiayai oleh pemerintah.

Build, Operate, Leasehold, and Transfer (BOLT)

Build, Operate, Leasehold, and Transfer (BOLT) adalah perjanjian antara pemerintah dengan pihak swasta dengan ketentuan sebagai berikut: Skenario berikut ini: (a) aset (tanah) dimiliki oleh pemerintah daerah ; (b) pihak ketiga membangun di atas tanah milik pemerintah daerah; (c) pihak ketiga mengelola dan mengoperasikan properti dengan menyewakannya kepada pihak lain atau kepada pemerintah daerah sendiri; (d) pihak ketiga memberikan kontribusi kepada pemerintah daerah dari hasil sewa, dengan jumlah yang disepakati; (e) jangka waktu kerja sama yang disepakati bersama; (f) setelah adanya kerjasama, pihak ketiga menyerahkan seluruh bangunan kepada pemerintah daerah.

Perjanjian Bangun, Serah, dan Kelola (Build, Transfer, and Operate (BO) )

Perjanjian Bangun, Serah, dan Kelola (Build, Transfer, and Operate (BO)) merupakan kerja sama antara pemerintah dan swasta yang menguraikan ketentuan-ketentuan berikut: (a) pemerintah daerah memiliki aset (tanah); (b) pihak ketiga membangun di atas tanah pemerintah daerah; (c) pihak ketiga menyerahkan bangunan tersebut kepada pemerintah daerah setelah pembangunannya selesai; (d) pihak ketiga mengelola gedung selama kerjasama; (e) pihak ketiga memberikan kompensasi kepada pemerintah daerah sesuai perjanjian, seperti uang atau harta benda lainnya; (f) risiko selama jangka waktu kerjasama ditanggung oleh pihak ketiga; dan (g) tanah dan bangunan dikembalikan kepada pemerintah daerah setelah perjanjian berakhir.

Kerjasama Rehabilitasi, Guna, dan Serah (Renovate, Operate, and Transfer (ROT))

Kerjasama Rehabilitasi, Guna, dan Serah (Renovate, Operate, and Transfer (ROT)) harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (a) Tanah dan bangunan milik pemerintah daerah; (b) pihak ketiga mempunyai dana untuk merenovasi bangunan; (c) pihak ketiga mengawasi bangunan selama kerjasama; (d) seluruh hasil pengelolaan menjadi milik pihak ketiga; (e) pihak ketiga tidak diperkenankan menggadaikan bangunan tersebut; (f) jangka waktu kerja sama dibatasi paling lama lima tahun; dan (g) setelah usaha selesai, tanah dan bangunan tersebut diserahkan kepada pemerintah daerah dalam keadaan baik.

Kerjasama Renovasi, Guna Sewa, dan Serah (Renovate, Operate, Leasehold, and Transfer (ROLT))

Kerjasama Renovasi, Guna Sewa, dan Serah (Renovate, Operate, Leasehold, and Transfer (ROLT)) adalah suatu perjanjian dimana pemerintah daerah dan pihak ketiga bekerja sama dengan ketentuan sebagai berikut: (a) Tanah dan bangunan dimiliki oleh pemerintah daerah; (b) pihak ketiga merenovasi bangunan; (c) pihak ketiga mengelola dan mengoperasikan bangunan tersebut, menyewakannya dari pemerintah daerah untuk digunakan atau disewakan kepada pihak lain; (d) pihak ketiga memberikan kontribusi sejumlah tertentu kepada pemerintah daerah dari hasil sewa; (e) pihak ketiga membayar biaya pemeliharaan dan asuransi; (f) risiko kerjasama sesuai dengan perjanjian

Kerjasama Bangun, Serah, dan Sewa (Build, Transfer, Leasehold (BTL))

Kerjasama Bangun, Serah, dan Sewa (Build, Transfer, Leasehold (BTL)), antara pihak ketiga dengan pemerintah daerah mempunyai syarat-syarat sebagai berikut: (a) Aset (tanah) dimiliki oleh pemerintah daerah; (b) pihak ketiga membangun di atas tanah pemerintah; (c) pihak ketiga menyerahkan bangunan tersebut kepada pemerintah daerah setelah selesai dibangun; (d) pihak ketiga mengelola dan mengoperasikan bangunan tersebut dengan menyewakannya kepada pihak lain; (e) pihak ketiga memberikan kontribusi kepada pemerintah daerah sebesar yang disepakati dari hasil sewa; (f) pihak ketiga bertanggung jawab atas pemeliharaan; dan (g) risiko ditanggung oleh pihak ketiga selama jangka waktu kerjasama.

Referensi

  1. ^ Toyib, Yusid, and Riant Nugroho (2018). Transformasi public private partnership Indonesia : urgensi PPP dalam penyediaan infrastruktur di Indonesia (studi kasus infrastruktur bidang PUPR). Jakarta: PT Elex Media Komputindo. ISBN 978-602-04-5802-1. 
  2. ^ Ismowati, Mary (2016). "Kajian Urgensi Public Private Partnerships di Kota Bandung". Transparansi : Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi (dalam bahasa Inggris). 8 (2): 141–149. doi:10.31334/trans.v8i2.67. ISSN 2622-0253. 
  3. ^ Abdullah, Muhammad Tang (2020-12-26). "Model Public Private Partnership Penyediaan Infrastruktur Pelayanan Publik: Pengalaman Indonesia dan India". Publik (Jurnal Ilmu Administrasi). 9 (2): 102–114. doi:10.31314/pjia.9.2.102-114.2020. ISSN 2581-2084.