Sejumlah anggota keluarga ini menduduki jabatan Mayor, Kapitan, dan Letnan Cina di lingkungan pemerintah Hindia Belanda, sehingga memberi mereka otoritas politik dan hukum atas orang-orang Cina di sejumlah wilayah di Hindia Belanda.[2][4][5] Sebagai salah satu keluarga tuan tanah terbesar di Hindia Belanda, keluarga ini juga memainkan peran penting dalam pengembangan perkotaan, pertanian, dan ekonomi di Jakarta Raya.[1][2][6]
Keluarga ini memulai sejarahnya dari tiga orang laki-laki Totok, yakni Khouw Tjoen (meninggal pada tahun 1831), Khouw Shio, dan Khouw Soen, yang bermigrasi sekitar tahun 1769 dari Fujian di Kekaisaran Qing ke Tegal di pantai utara Jawa, di mana mereka kemudian sukses dalam berbisnis.[2][3][7] Tiga orang laki-laki tersebut adalah anak dari Khouw Teng dan cucu dari Khouw Kek Po, yang berasal dari keluarga tuan tanah di Tiongkok.[2][7]
Khouw Tjoen lalu pindah ke Batavia, ibu kota Hindia Belanda, dan kemudian membeli tanah-tanah di sana serta di daerah sekitarnya.[1][2][3][7] Setelah meninggal, Khouw Tjoen digantikan oleh anak sulungnya, Khouw Tian Sek (meninggal pada tahun 1843), yang kemudian menjadi salah satu anggota pertama dari keluarga ini yang mendapat jabatan kehormatan Letnan-tituler Cina.[1][2][8]
Pada Twentieth Century Impressions, jurnalis asal Britania Raya, Arnold Wright menyebut bahwa naiknya keluarga ini 'dari...relatif berkecukupan menjadi...sangat kaya' adalah berkat Letnan Khouw Tian Sek, yang tanahnya di Molenvliet kemudian menjadi perkotaan seiring dengan berkembangnya Batavia ke arah selatan pada awal abad ke-19.[1] Keluarga ini memiliki tiga rumah Cina mewah di Molenvliet, yang mana salah satunya, Candra Naya, kini menjadi tengara bersejarah di Jakarta.[3][6] Khouw juga memulai hubungan keluarga ini dengan tanah partikelir di Tamboen, yang kemudian menjadi tanah partikelir paling penting bagi keluarga ini.[9] Keluarga ini juga diingat berkat rumah mereka, Landhuis Tamboen (kini Gedung Juang Tambun) yang bergaya Art Deco.[10]
Tiga orang putra Khouw, Khouw Tjeng Tjoan, Khouw Tjeng Kee, dan Khouw Tjeng Po, kemudian juga diangkat menjadi Letnan-tituler Cina.[2][3] Pada paruh kedua abad ke-19, kekayaan dan tanah partikelir milik keluarga ini telah menjadi salah satu yang terbesar dan terpenting di Batavia, atau bahkan di Hindia Belanda.[11]
Tiga orang putra Khouw memiliki sejumlah istri dan anak. Sejumlah anak mereka kemudian menjadi pemimpin komunitas pada akhir masa pendudukan Belanda di Indonesia, seperti Khouw Yauw Kie (meninggal pada tahun 1908), anggota pertama dari keluarga ini yang menjadi Kapitan Cina dan anggota Kong Koan; sepupunya, Khouw Kim An, Mayor Cina terakhir Batavia (1875 - 1945); saudaranya, Khouw Kim Tjiang, Kapitan Cina Buitenzorg (kini Bogor); dan sepupu mereka, filantropis O. G. Khouw (1874 - 1927).[2][12][13]
^"Javasche courant". Familiebericht (93). Landsdrukkerij. November 22, 1843. Diakses tanggal 1 December 2016.
^"Soerabaijasch handelsblad". Het particuliere land Tamboen [The estate of Tamboen] (229). Kolff & Co. October 1, 1941. Diakses tanggal 1 December 2016.