Tradisi mengikat kaki merupakan kebiasaan yang dipraktikkan oleh para gadis dan wanita muda selama kurang lebih seribu tahun di Tiongkok, dimulai sejak ke-10. Dalam masyarakat Tiongkok, kaki terikat dianggap indah dan erotis. Praktik tersebut juga membatasi mobilitas perempuan dan kadang-kadang dilihat sebagai tanda status (perempuan tidak harus bekerja) atau tanda kepemilikan laki-laki (mobilitas perempuan terbatas dan menjadi sangat bergantung pada laki-laki dalam rumah tangganya).[2]
Setelah Perang Candu Pertama, Tiongkok menandatangani Perjanjian Nanking tahun 1842 dengan Britania Raya, yang memaksa pemerintah Qing untuk membuka lima pelabuhan. Dampak lainnya adalah semakin banyak orang Kristen yang datang ke Tiongkok dan mulai menentang tradisi mengikat kaki ini, karena dianggap diskriminatif terhadap kaum perempuan. Tahun 1875, sekitar 60-70 wanita Kristen di Xiamen menghadiri pertemuan yang dipimpin oleh misionaris John MacGowan guna membentuk perhimpunan tianzu (kaki surgawi)[3][4] dan diperjuangkan oleh Woman's Christian Temperance Movement yang didirikan tahun 1883 serta didukung oleh para misionaris termasuk Timothy Richard, yang percaya bahwa Kekristenan dapat mempromosikan kesetaraan jenis kelamin. Tulisan-tulisan Richard memengaruhi reformis Tiongkok Kang Youwei dan Liang Qichao yang kemudian menantang praktik mengikat kaki.[5]