Selama belajar di berbagai pondok pesantren, KH Ahmad Baidhawi Asro dikenal sebagai santri yang rajin. Karena kerajinannya itu, Kiai Hasyim selaku pemimpin dari Pondok Pesantren Tebuireng sering menunjuk Kiai Baidhawi sebagai pengganti bila sedang berhalangan. Tidak jarang dalam masalah-masalah tertentu, Kiai Hasyim bermusyawarah dan meminta pertimbangan kepadanya, padahal saat itu KH Ahmad Baidhawi masih berstatus sebagai santri. Bahkan, Kiai Hasyim memberangkatkan Baidhowi ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji sekaligus studinya ke Al-Azhar Kairo.
Sekembalinya dari Mesir, Baidhawi menikah dengan putri ketiga pendiri Pondok Tebuireng, Aisyah. Buah dari pernikahan ini, Kiai Baidhawi dikaruniai 6 putra-putri, yaitu Muhammad, Ahmad Hamid, Mahmud, Ruqayyah (istri KH Yusuf Masyhar MQ), Mahmad, dan Kholid.
Namun, istrinya meninggal setelah melahirkan anak keenam. Ia pun kemudian menikah lagi dengan Bari’ah, putri dari Kiai Anwar Alwi Pacul Gowang. Dari pernikahannya ini, Kiai Ahmad Baidhawi dikaruniai seorang putri yang bernama Muniroh.
Tak berselang lama, Baidhowi kemudian menikah lagi dengan keponakan Kiai Mahfudz Anwar Seblak, yaitu Nadhifah. Dari pernikahannya ini, Ahmad Baidhawi dikarunia 5 orang anak, yaitu: Muthohar, Hafsoh, Munawar, Munawir, dan Fatimah. Salah satu cucu Baidhawi yang cukup dikenal adalah KH Saifuddin Zuhri, mantan Menteri Agama Republik Indonesia periode 1961-1967.
Peran KH Baidhawidi Pondok Pesantren
Kiai Ahmad Baidhawi juga dikenal sebagai pengasuh pesantren milik keluarga Presiden Indonesia ke-4, KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Selain dikenal sebagai kiai besar, Kiai Baidhawi juga memiliki peran penting dalam sejarah perkembangan sebagian besar pondok pesantren di Indonesia, terutama Pesantren Tebuireng.
Salah satu peran pentingnya adalah mengenalkan dan menerapkan sistem klasikal (madrasah) di Pesantren Tebuireng. Sebagaimana diketahui, sejak awal berdirinya, rata-rata pondok pesantren menggunakan sistem pengajian tradisional, yaitu sorogan dan bandongan. Namun, sejak 1919 setelah penerapan sistem baru (klasikal) yang dilakukan oleh Kiai Baidhawi untuk Pesantren Tebuireng, pondok pesantren lain berbondong-bondong menerapkan sistem yang sama di kemudian hari.[3]
Memulai Revolusi di Pondok Pesantren
Walaupun telah mengenalkan sistem klasikal di Pondok Pesantren Tebuireng, Kiai Baidhawi ternyata tidak mengubah muatan kurikulum di dalamnya. Materi pelajarannya masih terbatas pada kitab-kitab klasik (penambahan materi umum baru dilakukan oleh pengasuh Pesantren Tebuireng pada 1935, Kiai Wahid Hasyim).
Penambahan isi kurikulum dilakukan setelah KH Hasyim Asy’ari selaku pendiri melihat Baidhawi sedang mengajar santri dengan papan tulis. Tangan kanannya memegang kapur dan menulis huruf-huruf Arab, dan tangan kirinya juga memegang kapur dengan menulis huruf-huruf latin (pada masa itu jarang sekali santri yang bisa menulis latin). Sejak saat itulah di Tebuireng diperbolehkan mengadakan sistem madrasah, yang kemudian diberi nama Madrasah Salafiyah Syafiiyah, dengan jenjang mulai sifir awal hingga qism as-sadits (kelas enam).[4]
Kepemimpinan KH Baidhawi
Setelah cukup lama mengabdi, pada 1951 Kiai Baidhawi diangkat menjadi pengasuh Pesantren Tebuireng, Yang menarik, Kiai Baidhawi adalah satu-satunya pemimpin Pesantren Tebuireng yang tidak memiliki garis keturunan langsung dari sang pendiri. Patut menjadi catatan, selama masa pengabdiannya di Tebuireng, Kiai Baidhawi tidak pernah aktif dalam dunia politik praktis. Satu-satunya jabatan strategis yang pernah dipegangnya adalah anggota Dewan Syuriah PBNU.
Meninggalnya KH Baidhawi
Kiai Ahmad Baidhawi Asro meninggal di hari Jumat pada tahun 1955. Ia sempat mengalami demam yang terus meninggi hingga akhirnya wafat. Jenazah Kiai Baidhawi dimakamkan di area pemakaman keluarga Tebuireng. Pada batu nisannya tertulis angka 8.