Hutan jati adalah sejenis hutan yang dominan ditumbuhi oleh pohonjati (Tectona grandis). Di Indonesia, hutan jati terutama didapati di Jawa. Akan tetapi kini juga telah menyebar ke berbagai daerah seperti di pulau-pulau Muna, Sumbawa, Flores dan lain-lain.
Hutan jati merupakan hutan yang tertua pengelolaannya di Jawa dan juga di Indonesia, dan salah satu jenis hutan yang terbaik pengelolaannya.
Asli atau introduksi
Para ahli (altona, 1922; Charles, 1960) menduga bahwa jati di Jawa dibawa oleh orang-orang Hindu dari India pada akhir zaman hindu (awal abad X1V, hingga awal abad XVI). Akan tetapi beberapa ahli yang lain menyangkal, dan menyatakan bahwa tidak ada alasan yang cukup kuat untuk menyatakan bahwa jati bukan tumbuhan asli Jawa (Whitten dkk., 1999).
Hipotesis introduksi jati dari india ke jawa sudah barang tentu sulit dihindari, mengingat sifat kayunya yang sejak ratusan tahun sangat dikenal, sehingga sudah barang tentu manusia sangat berperanan penting terutama dalam penyebarannya yang terbaru. Padahal menurut Peluso (1991), ketika pedagang belanda mendarat di jawa pada pertengahan abad XVII, mereka mendapati tegakan jati campuran atau bahkan tegakan jati hampir murni yang terbentang beratus-ratus kilometer di bagian tengah pulau jawa. Bila hipotesis introduksi jati dari india dibenarkan, maka introduksi tersebut telah berlangsung pada zaman yang lebih kuno, paling tidak sekitar abad VI, yakni ketika pertukaran kebudayaan antara India dan Indonesia berlangsung sangat kuat. Namun tidak ada catatan sejarah yang menguatkan dugaan itu. Dipihak lain hipotesis introduksi jati dari India ke Jawa juga menimbulkan pertanyaan yang sulit dijawab terutama tentang diketemukannya populasi jati alam di beberapa pulau terpencil di Indonesia seperti di Madura, Muna, dan ketidakhadirannya di pulau pulau lain selain di jawa padahal pulau - pulau tersebut (Sumatera misalnya) juga berperan penting dalam jalur migrasi manusia antara India, Thailand, Kambodia, China, Jepang. Berdasar itu Gartner (1956) meragukan hipotesis Altona, demikian pula Troup (1921) yang cenderung mengganggap bahwa keberadaan jati di Jawa dan beberapa pulau di indonesia adalah alami.Penelitian Kertadikara (1992) yang mempelajari keragaman genetika beberapa populasi jati India, Jawa dan Thailand dengan menggunakan isoenzym serta data morfologi, menunjukkan bahwa populasi jati dari India memiliki struktur genetika sangat khas yang jauh berbeda dengan populasi jati Jawa dan Thailand. Sementara struktur genetika populasi jati Thailand lebih dekat dengan struktur genetika populasi jati Jawa. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pertama populasi jati India telah sejak lama terisolasi secara geografi dari populasi-populasijati lainnya. Kedua, bila hipotesis introduksi jati dari india ke Jawa dibenarkan, seharusnya akan terlihat kedekatan struktur genetika antara populasi Jawa dan India. Berdasar itu Kertadikara (1992)cenderung pada hipotesis migrasi alami jati dari pusat penyebaran alaminya di daratan asia tenggara (yang kemungkinan besar terletak di Myanmar), menggunakan pulau ke pulau yang menghubungkan daratan asia dengan kepulauan indonesia pada zaman pleistocene. Hubungan antra daratan asia dan kepulauan indonesia tersebut dimungkinkan akibat penurunan permukaan air laut sekitar 100 hingga 120 m lebih rendah dibanding permukaannnya sekarang. Sementara keberhasilan instalasi jati di jawa dan beberapa pulau lainnya tergantung sepenuhnya pada kebutuhan klimatik dan edafik, yang menyebabkan penyebaran alami jati bersifat terputus-putus.
Sejarah Pengelolaan
Sejauh ini, sejarah mencatat bahwa pada masa lalu, sebelum VOC datang ke Jawa, para bupati telah memberikan upeti kepada raja-raja dalam bentuk glondhong pengareng-areng. Demikian pula, ketika itu telah ada semacam jabatan yang disebut juru wana atau juru pengalasan (wana, alas bahasa Jawa berarti hutan). Pada abad ke-16 diketahui telah ada hutan jati yang dikelola baik di sekitar Bojonegoro, Jawa Timur, untuk kepentingan pembuatan bangunan-bangunan, benteng dan kapal-kapal.
Sampai dengan awal abad ke-19, VOC terus memperluas penguasaannya atas hutan-hutan jati di bagian utara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Meskipun telah menguasai hutan jati selama tiga abad, boleh dikatakan belum ada pengelolaan hutan jati yang baik pada saat itu. VOC lebih banyak mengatur penebangan dan pengamanannya, untuk kepentingan pembuatan kapal-kapal dagang dan bangunan lainnya.
Cikal bakal pengelolaan hutan di Indonesia
Ketika bangkrut karena korupsi pada paruh akhir abad ke-18, VOC telah mengeksploitasi habis jati di Jawa dan meninggalkan lahan hutan yang rusak parah. Ini bukanlah kerusakan secara meluas yang terakhir dalam sejarah hutan jati di Pulau Jawa.
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengambil alih tanggung jawab VOC dan —terdorong oleh kebutuhan kayu jati sebagai bahan baku industri kapal di Belanda saat itu— berniat mengembalikan hutan jati Jawa seperti semula.
Gubernur Jenderal Willem Daendels (1808-1811) lantas mendirikan organisasi pertama untuk pengurusan hutan jati Jawa; tetap dengan memanfaatkan blandong. Pada 1847, pemerintah meminta dua rimbawan Jerman, Mollier dan Nemich, untuk merancang sistem budidaya hutan untuk Jawa. Pemerintah Kolonial Belanda kemudian memilih sistem monokultur (penanaman satu jenis pohon dominan) usulan Mollier. Mereka menolak sistem multikultur (penanaman banyak jenis pohon) usulan Nemich. Hal ini sejalan dengan tujuan menghasilkan keuntungan ekonomi bagi pemerintah kolonial saat itu.
Dapat dikatakan bahwa pengelolaan hutan secara modern pertama di Indonesia berawal dari pengelolaan hutan jati di Jawa ini. Namun, apa saja yang ditata oleh pemerintah kolonial selanjutnya?
Sejak pertengahan hingga akhir abad ke-19, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menetapkan daerah-daerah bukan pertanian dan bukan perkebunan sebagai kawasan hutan untuk ditanami dengan jati. Kawasan hutan terbatas pada tempat-tempat yang kurang subur dan curam, serta terletak jauh dari pusat-pusat pemukiman.
Sebuah undang-undang kehutanan diperkenalkan pada 1865. UU itu menghapuskan bentuk-bentuk kerja paksa. UU itu juga membagi tiga kawasan hutan Jawa: hutan jati di bawah pengurusan (negara), hutan jati tidak di bawah pengurusan, dan hutan rimba. Hutan rimba merupakan istilah untuk hutan dengan jenis pohon utama selain jati.
Pada 1874, terbitlah UU baru yang mencakup penyataan domein verklaring, yaitu semua tanah —termasuk kawasan hutan— dikuasai dan diurus oleh negara. Enam tahun kemudian, hutan-hutan produksi jati Jawa telah dibagi menjadi 13 ‘distrik hutan jati’ di bawah djatibedrijf (perusahaan jati negara).
Rencana perusahaan pertama selesai dibuat pada 1890 di bawah pimpinan rimbawan Bruisma. Tujuh tahun kemudian terbentuklah houtvestrij pertama, sementara yang terakhir baru selesai sekitar 1932. Houtvestrij merupakan pengelompokan luas lahan hutan tertentu sebagai suatu satuan perencanaan daur produksi, yaitu sejak tahap menanam pohon, ke tahap memelihara, hingga tahap dapat memanen pohon. Kita kini mengenal houtvestrij sebagai KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan).
Berpindahnya pengelolaan hutan dari VOC ke tangan Pemerintah Kolonial Belanda pada sekitar 1808, tidak menjadikan hutan jati lebih baik nasibnya. Hingga awal abad ke-20, eksploitasi tidak teratur dan kerusakan-kerusakan hutan terus terjadi. Baru pada sekitar awal abad-20 diletakkan dasar-dasar pengelolaan hutan jati modern: pembagian atas satuan-satuan wilayah pengelolaan hutan, penataan hutan, pengaturan hasil, dan penelitian-penelitian mengenai hutan.
Pengelolaan Sekarang
Pascakemerdekaan, pengelolaan hutan jati di Jawa dialihkan kepada Jawatan Kehutanan. Jawatan tersebut kemudian berubah status menjadi PN (Perusahaan Negara) Perhutani pada 1963. Status PN itu berubah lagi menjadi Perum (Perusahaan Umum) Perhutani sembilan tahun kemudian.
Pada masa kini, hutan-hutan jati terdiri atas hutan-hutan yang dikelola negara, dan hutan-hutan yang dikelola oleh rakyat. Umumnya, hutan-hutan jati dikelola dengan tujuan untuk produksi (hutan produksi), dengan beberapa perkecualian.
Hutan jati rakyat adalah salah satu bentuk hutan rakyat, yang umumnya dibangun di atas tanah milik dan dikelola dalam bentuk wanatani (agroforest).
Hutan jati di atas tanah negara, atau yang biasa disebut kawasan hutan negara, di Jawa pengelolaannya dilakukan oleh Perum Perhutani. Akan tetapi dengan dibangunnya berbagai taman nasional dalam duapuluh tahun belakangan, sebagian hutan-hutan jati yang berbatasan atau menjadi satu kesatuan dengan wilayah taman nasional, pengelolaannya diserahkan kepada pihak taman nasional yang bersangkutan. Tentu saja hutan itu kini tidak lagi untuk produksi, melainkan sebagai bagian dari hutan suaka alam.
Pada 2001, pemerintah mengubah Perhutani dari bentuk Perum menjadi PT (Perseroan Terbatas), yaitu badan usaha yang bertujuan mencari laba. Berbagai pihak yang berkepentingan menyatakan keberatan terhadap peraturan ini, mengingat pentingnya fungsi ekologis dan sosial hutan jati Jawa di samping nilai ekonominya.
Ada sekitar 20-25 juta jiwa, yaitu seperenam jumlah penduduk Pulau Jawa, yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan Perhutani. Jumlah orang yang tak sedikit ini paling bergantung langsung pada keberadaan hutan jati di Pulau Jawa. Atas pertimbangan itu juga, pemerintah mengembalikan bentuk Perhutani sebagai Perum pada 2002.
Satuan wilayah pengelolaan hutan menurut Perum Perhutani, adalah unit (kurang-lebih setingkat dengan provinsi), kesatuan pemangkuan hutan (KPH, setingkat kabupaten), bagian KPH (BKPH, setingkat kecamatan), hingga resort pemangkuan hutan (RPH, setingkat desa). Akan tetapi tidak selalu persis demikian. Misalnya, KPH Banten terletak di bawah Unit III Jawa Barat, dan meliputi hutan-hutan di wilayah Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak.
Di samping hutan jati, Perhutani juga mengelola hutan-hutan tanaman yang lain, seperti hutan mahoni (Swietenia spp.), hutan tusam (Pinus merkusii), hutan kayu putih (Melaleuca leucadendron), dan hutan-hutan lindung.
Kehancuran hutan jati di Jawa
Seperti telah disebut, hutan jati di Pulau Jawa pernah mengalami kerusakan parah beberapa kali. Selain pada masa VOC, hutan jati di Jawa telah dikuras sepanjang pendudukan Jepang (1942-1945). Tingkat penebangan kayu jati mencapai dua lipat jumlah penebangan normal sebelumnya. Akibatnya, lahan seluas 500.000 hektare (17% luas hutan Jawa) menjadi rusak.
Jawatan Kehutanan merehabilitasi kerusakan lahan ini. Namun, setelah jawatan berubah menjadi PN Perhutani, masalah-masalah di lahan hutan jati negara di Jawa tidak berkurang. Pencurian kayu, pembakaran hutan, dan penggembalaan liar terus meningkat. Penanaman jati baru pun semakin sering gagal dan luas lahan tak produktif meningkat.
Lahan hutan Perhutani bahkan dijarah habis-habisan sepanjang 1998-2001. Penjarahan ini telah mengakibatkan kerusakan parah. Perum Perhutani melaporkan nilai kerugian besar sebagai berikut.
Tahun,, Besar Kerugian
Batang Pohon, Nilai dalam Rupiah //
Tahun 1999: 3.179.973 Pohon, Rp.55.851.084.000 //
Tahun 2000: 2.574.948 Pohon, Rp.569.757.232.000 //
Tahun 2001: 2.675.161 Pohon, Rp.613.924.367.000 //
Sumber: Statistik Perum Perhutani 1999-2003 (Perum Perhutani, 2004:186)
Masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar kawasan Perhutani dianggap ikut menjarah lahan Perhutani. Sejumlah pihak, sebaliknya, bernalar bahwa penjarahan sedemikian luas tidak mungkin terjadi tanpa keterlibatan sejumlah aparat negara.
Sebagian pihak lain berpendapat bahwa penjarahan hutan Perhutani pada waktu itu dapat dimaklumi. Masyarakat desa hutan perlu memperoleh dana secara cepat setelah tertimpa krisis ekonomi pada 1997. Sementara itu, pembeli kayu jati terus meningkat dan membutuhkan kayu jati dalam jumlah sangat besar. Industri mebel kayu di Jawa pada saat itu juga sedang melesat perkembangannya. Dan, industri ini cukup banyak menggunakan jati untuk hasil produksinya.
Beberapa rimbawan bahkan berpandangan bahwa penjarahan itu mencerminkan puncak pertentangan antara masyarakat desa hutan dan perum. Masyarakat desa hutan sudah lama merasa tidak lagi leluasa untuk memasuki hutan. Padahal kehidupan mereka tidak terpisahkan dari pemanfaatan hutan jati itu. Ketika pengawasan terhadap hutan negara melonggar saat krisis ekonomi menimpa Indonesia, para penjarah hutan —siapa pun mereka— memanfaatkan kesempatan.
Padahal, pengambilan kayu dari hutan jati di Jawa itu tak dapat diimbangi oleh kecepatan hutan jati untuk tumbuh berkembang. Hanya dibutuhkan beberapa jam untuk menebang satu pohon jati. Satu pohon jati itu membutuhkan sekurang-kurangnya belasan tahun untuk tumbuh sebelum penebangan.
Kita mungkin dapat berkaca pada pengalaman India, salah satu dari empat negara asal jati. Selama berabad-abad, India menjadi produsen jati dan eksportir gelondongan jati terbesar di dunia. Namun, hutan jati alam India kemudian mengalami tekanan dari jumlah penduduk yang terus membesar. Orang-orang India terus merambah lahan hutan jati mereka hingga luas hutan kian menciut. Kini, India justru berbalik harus mengimpor lebih dari satu juta meter kubik kayu jati hasil tanaman dari negara-negara Asia lain setiap tahun. India telah berubah: dari eksportir jati terbesar menjadi importir jati terbesar di dunia.
Serupa dengan di India, orang-orang Indonesia telah berpaling ke lahan-lahan hutan untuk memperoleh uang secara mudah —baik untuk sekadar menyambung hidup, maupun untuk memperoleh keuntungan besar secara cepat. Namun, kehancuran hutan ternyata telah berbalik membawa kerugian dan kesengsaraan berlipat pada penduduk negeri ini sendiri.
Dalam tahun-tahun belakangan ini, sejumlah bencana alam, seperti erosi tanah secara luas, banjir yang lebih besar, dan lahan rusak, semakin sering terjadi di Indonesia, termasuk di Pulau Jawa. Boleh jadi, ini akibat langsung dan tak langsung dari mengabaikan fungsi-fungsi non-ekonomis hutan.
Pengelolaan hutan jati oleh masyarakat
Pengelolaan hutan Indonesia sebenarnya dulu merujuk pada sistem warisan Pemerintah Kolonial. Sistem pengelolaan warisan itu (yang semula dikembangkan untuk hutan jati di Jawa), lebih untuk menghasilkan keuntungan bagi negara dari penjualan hasil kayu. Hal tersebut, pada satu sisi, menjadikan pemerintah memiliki wewenag besar dalam mengatur dan mengendalikan pemanfaatan hutan. Hanya pihak-pihak yang diberikan izin oleh pemerintah boleh memasuki dan memanfaatkan hasil hutan. Biasanya, pihak-pihak tersebut terbatas pada perusahaan swasta atau perusahaan negara.
Pada sisi lain, masyarakat menganggap hutan merupakan kekayaan bersama bangsa ini. Dengan demikian, masyarakat seharusnya dapat ikut memanfaatkan hutan secara langsung. Lebih jauh, masyarakat seharusnya mempunyai hak untuk ikut terlibat dalam pengelolaan hutan. Apalagi, jika mereka memang tinggal di dalam atau sekitar hutan, sehingga kehidupan mereka bersinggungan langsung dengan (bahkan tak terpisahkan dari) keberadaan hutan.
UU No. 41/1999 tentang Kehutanan adalah salah satu upaya untuk memperbaiki sistem lama pengelolaan hutan di Indonesia. Masyarakat dinyatakan mempunyai hak, bahkan kewajiban, yang lebih besar untuk terlibat dalam pengelolaan hutan.
Dengan ketentuan dari UU itu, dan dengan melihat pengalaman sebelumnya, Perhutani memperkenalkan PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat) pada 2002. Di bawah model PHMB, Perhutani akan bekerja sama dengan masyarakat hutan dalam mengelola hutan: sejak merencanakan kegiatan pengelolaan hingga memanfaatkan hasil hutan. Jika ikut memiliki dan mengurus suatu lahan hutan, masyarakat tentu lebih terdorong untuk mengawasi keberlangsungan hidup hutan.
Perhutani menyatakan bahwa sejumlah daerah telah ikut serta dalam sistem pengelolaan ini. Contoh penerapan PHBM yang berhasil, menurut Perhutani, dapat dilihat di daerah Blora.
Namun, ada pula contoh dari pengembangan pohon jati secara mandiri di luar kawasan hutan Perhutani oleh masyarakat. Pada 2005, CIFOR (sebuah badan peneliti kehutanan internasional) melakukan survei di sekitar setengah jumlah kabupaten yang ada di Pulau Jawa. Survei memperlihatkan minat tinggi masyarakat untuk mengembangkan kebun jati rakyat. Meskipun masa panen jati tahunan, masyarakat bersedia menanam jenis pohon ini karena menganggapnya sebagai bentuk simpanan untuk masa depan. Masyarakat Jawa memang sudah lama mengenal jati dan menghargainya dengan tinggi.
Usia kebun jati rakyat yang disurvei oleh CIFOR ini berkisar antara enam bulan dan 40 tahun. Di sekitar setengah dari jumlah lokasi survei, sebagian besar pepohonan jati ditanam setelah 1998, ketika Departemen Kehutanan membagi-bagikan anakan pohon jati secara gratis.
Altona, T. 1922. Teak and Hindoos. Origin of teak in Bodjonegoro (Java). Tectona, 15: 457-507.
Adib, Mohammad. 2015. “Think Smartly, Act Decisively, And Be Morally Noble: Improving The Good Character
Building In The Forest Management of Tuban Regency, East Java.” Dalam Proceeding: Social Conservation Bases on Nation Character Building. Iternational Conference on Education and Social Sciences. Semarang: May 13th. Hal. 233-242.
Dah, U Saw Eh & U Shwe Baw. 2000. “Regional Teak Marketing and Trade”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
Gartner, C. 1956. Country reports on teak: Indonesia, FAO, Rome. pp; 49-54.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid IV. Badan Litbang Kehutanan (penerj.). Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya.
Kertadikara, A.W.S. 1992. Variabilité de quelques provenances de teck (Tectona grandis, L.f) et leur aptitude à la multiplication végétative. Thèse Université de Nancy I, 355p.
Lincoln, William dkk. 1989. The Encyclopedia of Wood. A Directory of Timbers and Their Special Uses. Oxford: Facts on File.
Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya. Kajian Sejarah Terpadu. Bagian II: Jaringan Asia (Le Carrefour Javanais. Essai d’histoire globale. II. Les réseaux asiatiques). Winarsih Arifin dkk. (penerj.). Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama.
Lugt, Ch. S. ---. “Sejarah Penataan Hutan di Indonesia”. Dalam: Hardjosoediro, Soedarsono (penerj.). Cuplikan Het Boschbeheer in Nederlands Indie. Yogyakarta: Bagian Penerbitan Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan UGM.
Nandika, D. 2005. Hutan bagi Ketahanan Nasional. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Salim, H S. 2003. Dasar-Dasar Hukum Kehutanan. Edisi Revisi. Jakarta: Sinar Grafika.
Peluso, N.L.1991; The history of state forest management in colonial Java. For. Conserv. Hist. 35: 65-75.
Perum Perhutani. 2000. “Marketing and Trade Policy of Perum Perhutani”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
Simon, Hasanu. 2000. “The Evolvement of Teak Forest Management in Java, Indonesia”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
Simon, Hasanu. 2004. Membangun Desa Hutan. Kasus Dusun Sambiroto. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Simatupang, Maruli H. 2000. “Some Notes on the Origin and Establishment of Teak Forest (Tectona grandis Lf.) in Java, Indonesia”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
Somaiya, RT. 2000. “Marketing & Trading of Plantation Teakwood in India”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
Suharisno. 2000. “Role and Prospect: Teak Plantation in Rural Areas of Gunung Kidul, Yogyakarta”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
Suseno, Oemi Hani’in. 2000. “The History of Teak Silviculture in Indonesia”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
Whitten, T., Soeriaatmadja, R.E. Affiff, S.A. 1999. Ekologi Jawa dan Bali. Hlm. 183 & 591.
This article is about the school in New York. For other uses, see École. This article contains content that is written like an advertisement. Please help improve it by removing promotional content and inappropriate external links, and by adding encyclopedic content written from a neutral point of view. (September 2023) (Learn how and when to remove this template message) The École, in Flatiron District Preschool at 206 Fifth Avenue Elementary and Middle School Building at 111 East 22nd Stre...
County in Missouri, United States For other uses, see Webster County. County in MissouriWebster CountyCountyWebster County Courthouse in MarshfieldLocation within the U.S. state of MissouriMissouri's location within the U.S.Coordinates: 37°17′N 92°52′W / 37.28°N 92.87°W / 37.28; -92.87Country United StatesState MissouriFoundedMarch 3, 1854Named forDaniel WebsterSeatMarshfieldLargest cityMarshfieldArea • Total594 sq mi (1,540 ...
See also: 2020 United States Senate elections Not to be confused with 2020 Georgia State Senate election. For the other Senate election in Georgia held in parallel, see 2020–21 United States Senate special election in Georgia. 2020–21 United States Senate election in Georgia ← 2014 November 3, 2020 (first round)January 5, 2021 (runoff) 2026 → Turnout65.4% (first round)61.5% (runoff) Candidate Jon Ossoff David Perdue Party Democratic Republican First round 2,37...
«Серия „Киев глазами художников“: Нерушимая София. Юрий Химич, 1965», почтовая марка Украины, 2005 Православными себя считает большинство населения современной Украины (свыше 70 %[1][2]) и подавляющее большинство в центральных, восточных и южных регионах страны. При ...
Theater performed in Chicago, Illinois For the theater building at 175 North State Street built in 1921, see Chicago Theatre. The Chicago Theatre The Auditorium Theatre Theater in Chicago describes not only theater performed in Chicago, Illinois, but also to the movement in Chicago that saw a number of small, meagerly funded companies grow to institutions of national and international significance. Chicago had long been a popular destination for touring productions, as well as original produc...
Prefecture and commune in Pays de la Loire, FranceLavalPrefecture and communeThe castle overlooking the town and the river Mayenne. Coat of armsLocation of Laval LavalShow map of FranceLavalShow map of Pays de la LoireCoordinates: 48°04′24″N 0°46′08″W / 48.0733°N 0.7689°W / 48.0733; -0.7689CountryFranceRegionPays de la LoireDepartmentMayenneArrondissementLavalCanton3 cantonsIntercommunalityLaval AgglomérationGovernment • Mayor (2020–2026...
Canvassing of votes from 1957 Philippine presidential election This article relies largely or entirely on a single source. Relevant discussion may be found on the talk page. Please help improve this article by introducing citations to additional sources.Find sources: Congressional canvass for the 1957 Philippine presidential election – news · newspapers · books · scholar · JSTOR (July 2022) The following is the official canvassing of votes by the Congr...
American soccer player (born 1994) Nick Lima Lima with the United States in 2019Personal informationFull name Nicholas Lima[1]Date of birth (1994-11-17) November 17, 1994 (age 29)Place of birth Castro Valley, California, United StatesHeight 5 ft 9 in (1.76 m)Position(s) DefenderTeam informationCurrent team New England RevolutionNumber 12Youth career2010–2011 San Jose EarthquakesCollege careerYears Team Apps (Gls)2013–2016 California Golden Bears 72 (6)Senior ca...
Military engagement of Operation Crusader during the Second World War Battle of Point 175Part of Operation Crusader during the Second World WarTobruk–Sollum area 1941Date29 November – 1 December 1941Locationnear Sidi Rezegh, Libya31°49′36″N 24°08′10″E / 31.82667°N 24.13611°E / 31.82667; 24.13611Result Italian victoryBelligerents Italy New ZealandCommanders and leaders Mario Balotta Bernard FreybergStrength 132nd Armoured Division Ariete: 9,2...
Men's Skeletonat the XXII Olympic Winter GamesVenueSliding Center SankiDates14–15 FebruaryCompetitors27 from 16 nationsWinning time3:44.29Medalists Aleksandr Tretyakov Russia Martins Dukurs Latvia Matthew Antoine United States← 20102018 → Skeleton at the2014 Winter OlympicsQualification menwomenvte The men's skeleton event at the 2014 Winter Olympics took place at the Sliding Center Sanki on 14–15 February.[1] The gold medal won i...
Fictional character in the series Cheers This article is about the fictional character from Cheers. For the politician, see Norm Peterson (politician). Fictional character Norm PetersonCheers characterNorm sitting at his favorite seat with a beer in Cheers: The Motion Picture (season 5, episode 24)First appearanceCheers: Give Me a Ring Sometime (season 1, episode 1)Last appearanceFrasier: Cheerful Goodbyes (season 9, episode 21)Portrayed byGeorge WendtIn-universe informationFull nameHilary No...
Debt-ceiling crisis in 2023 This article is part of a series on theBudget and debt in theUnited States of America Major dimensions Economy Expenditures Federal budget Financial position Military budget Public debt Taxation Unemployment Gov't spending Programs Medicare Social programs Social Security Contemporary issues Bowles–Simpson Commission Bush tax cuts Debt ceiling history Deficit reduction Fiscal cliff Healthcare reform Political debates Social Security debate Starve the beast Subpri...
American journalist For other people named John Mitchell, see John Mitchell (disambiguation). John Mitchell Jr.Born(1863-07-11)July 11, 1863Richmond, Virginia, U.S.DiedDecember 3, 1929(1929-12-03) (aged 66)Richmond, Virginia, U.S.Occupation(s)journalist, politicianPolitical partyRepublican John Mitchell Jr. (July 11, 1863 – December 3, 1929) was an American businessman, newspaper editor, African American civil rights activist, and politician in Richmond, Virginia, particularly in Richm...
Election for the governor of North Dakota For related races, see 1910 United States gubernatorial elections. 1910 North Dakota gubernatorial election ← 1908 November 8, 1910 1912 → Nominee John Burke C. A. Johnson Party Democratic Republican Popular vote 47,005 44,555 Percentage 49.96% 47.36% County Results Burke: 40-50% 50-60% 60-70% Johnson: ...
61st British Academy Television AwardsDate10 May 2015SiteTheatre Royal, Drury LaneHosted byGraham NortonHighlightsBest Comedy SeriesThe Graham Norton ShowBest DramaHappy ValleyBest ActorJason WatkinsThe Lost Honour of Christopher JefferiesBest ActressGeorgina CampbellMurdered by My BoyfriendBest Comedy PerformanceJessica HynesW1AMatt BerryToast of LondonMost awardsAnt & Dec's Saturday Night Takeaway/Marvellous/The Lost Honour of Christopher Jefferies (2)Most nominationsThe Missing (4)Tele...
1981 single by The Rolling Stones For other uses, see Start Me Up (disambiguation). Start Me UpSingle by the Rolling Stonesfrom the album Tattoo You B-sideNo Use in CryingReleased14 August 1981 (1981-08-14)Recorded January & March 1978 (basic track)[1] April–June 1981 (vocals and overdubs) GenreHard rockLength3:34LabelRolling StonesSongwriter(s)Jagger–RichardsProducer(s)The Glimmer TwinsThe Rolling Stones singles chronology She's So Cold (1980) Start Me Up (1981...
Platonic philosophical analogy Part of a series onPlatonism Life Works Theory of forms Form of the Good Theory of soul Epistemology Political philosophy Euthyphro dilemma Demiurge Atlantis The Republic Allegory of the cave Analogy of the Sun Analogy of the divided line Philosopher king Ship of State Ring of Gyges Myth of Er The works of Plato Euthyphro Apology Crito Phaedo Cratylus Theaetetus Sophist Statesman Parmenides Philebus Symposium Phaedrus First Alcibiades Second Alcibiades Hipparchu...
Idealized thermodynamic cycle ThermodynamicsThe classical Carnot heat engine Branches Classical Statistical Chemical Quantum thermodynamics Equilibrium / Non-equilibrium Laws Zeroth First Second Third Systems Closed system Open system Isolated system State Equation of state Ideal gas Real gas State of matter Phase (matter) Equilibrium Control volume Instruments Processes Isobaric Isochoric Isothermal Adiabatic Isentropic Isenthalpic Quasistatic Polytropic Free expansion Reversibility...