Han Siong Kong (Hanzi sederhana: 韩松公; Hanzi tradisional: 韓松公; Pinyin: Hánsōnggōng, nama setelah meninggal: Chundu)[1] (1673-1743) dikenal sebagai leluhur Keluarga Han dari Lasem, salah-satu dinasti Cabang Atas tertua di Indonesia, yang berperan penting sebagai birokrat pemerintahan dan tuan tanah di Hindia Belanda dalam sejarah Indonesia.[1][2][3]
Sejarah
Ia dilahirkan di Tianbao, Zhangzhou, Provinsi Fujian, Dinasti Qing. Han berasal dari nenek moyang keturunan Sarjana-bangsawan. Leluhurnya yang pertama diketahui adalah Han Zhaode, seorang jenderal dalam ketentaraan panglima perang Tan Goan-kong (meninggal 711), yang membuka Provinsi Fujian pada periode Dinasti Tang (618-907). Keluarga Han Siong Kong berasal dari cabang silsilah keturunan Han Hong, yang mendapat gelar Lulusan Metropolitan (Huìshì) dalam ujian Kekaisaran tahun 1121, kemudian diangkat sebagai Sekretaris di Kementerian Pendapatan Dalam Negeri selama Dinasti Song (960-1279). Selama Era Jiajing (1522-1566), atas prakarsa dari Han Shifeng dari Tianbao, cukup banyak anggota keluarga Han bergabung bersama berdoa di makam Han Hong dan menyusun silsilah yang dibentuk kembali pada tahun 1647 dan kemudian dilanjutkan di Indonesia.[1]
Sekitar tahun 1700an, Han Siong Kong meninggalkan negeri asalnya dan menetap di Lasem, sebuah pelabuhan di pantai utara pulau Jawa. Istri Han Siong Kong yang tidak disebutkan namanya diduga adalah wanita asal Lasem, bukan keturunan Cina.[4] Han memiliki lima putra dan empat putri. Dua putranya, Ngabehi Soero Pernollo dan Han Bwee Kong, Kapitein der Chinezen, memiliki peranan penting dalam membangun dan memperkuat kekuasaan kolonial Belanda di Jawa Timur.
Menurut Genealogi Surabaya, putra sulungnya, Han Tjien Kong, yang ganti nama menjadi Soero Pernollo adalah seorang mualaf, sementara yang lain, Tjoe Kong, Kien Kong, Hing Kong dan Bwee Kong, mempertahankan agama leluhur mereka. Mereka yang muslim menunjukkan kecenderungan untuk menikahi gadis-gadis Jawa, sementara yang lain mengambil istri dari Peranakan. Terlepas dari pilihan agama mereka yang berbeda, kelima saudara itu memelihara hubungan dekat satu sama lain. Namun pemecahan terlihat jelas dalam silsilah keluarga mereka. Keluarga muslim, yang cepat bergabung dengan elit lokal, menyusun silsilah mereka sendiri seperti yang dilakukan para Priyayi, sementara yang Peranakan masih menggunakan nama-nama Cina, yang terdaftar dalam silsilah yang terpisah.[1]
Kematian
Han Siong Kong meninggal pada tahun 1743 di Rajegwesi (sekarang Bojonegoro) dan dimakamkan di Binangun, dekat Lasem. Legenda setempat mengatakan bahwa selama upacara pemakaman Han, terjadi badai petir. Akhirnya, anak-anak Han menggeletakkan saja peti mati ayah mereka dalam hutan karena mencari perlindungan dari badai. Kemudian peti mati itu dikuburkan oleh kekuatan misterius. Roh Han Siong Kong yang marah membalas dendam dengan mengutuk anak-anaknya dan keturunan mereka yang berani menetap di Lasem,[1] bagi laki-laki akan bangkrut bila berbisnis, yang perempuan tak akan punya keturunan.[4] Akibatnya tidak ada keturunannya yang berani melintasi Lasem.[1]
Referensi