Evakuasi warga sipil di Jepang selama Perang Dunia II
Sekitar 8,5 juta warga sipil Jepang mengungsi dari rumah mereka antara tahun 1943-1945 sebagai akibat dari serangan udara di Jepang oleh Pasukan Angkatan Udara Amerika Serikat (USAAF) selama Perang Dunia II. Evakuasi ini dimulai pada bulan Desember 1943 sebagai program pemerintah sukarela untuk mempersiapkan kota-kota utama di negara itu dari serangan bom dengan mengevakuasi anak-anak, wanita dan orang tua ke kota-kota di pedesaan. Setelah pengebom Amerika mulai menghancurkan banyak kota pada tahun 1945,[1] bertambah jutaan lagi warga sipil yang melarikan diri ke pedesaan.
Sebelum meletusnya Perang Pasifik dan selama tahun-tahun pertama dari konflik itu, pemerintah Jepang memberikan sedikit penekanan pada persiapan langkah-langkah pertahanan sipil dalam hal serangan udara di negara itu. Panduan yang disiapkan untuk warga sipil meminta mereka untuk tetap tinggal di kota-kota yang diserang guna memadamkan api akibat dari serangan bom pembakar, sekaligus sebagai bagian dari asosiasi lingkungan.[2]
Setelah serangkaian kekalahan yang diderita oleh militer Jepang selama paruh kedua 1942 dan 1943, mengarah pada pengenalan kebijakan untuk melindungi warga sipil dari serangan udara. Langkah-langkah ini mengantisipasi dimulainya serangan terhadap pulau-pulau di Jepang dan jika Kepulauan Mariana berhasil direbut oleh Amerika Serikat.[3] Pada akhir 1943, pemerintah Jepang mengembangkan rencana untuk mengevakuasi personel yang tidak penting dari Tokyo, Nagoya, Osaka dan kota-kota di utara Kyushu. Perdana Menteri Hideki Tōjō pada awalnya menentang penerapan rencana-rencana ini karena kemungkinan akan merusak moral dan hubungan kekeluargaan yang erat, tetapi akhirnya ia setuju guna meminimalkan korban sipil sehingga penduduk Jepang dapat diregenerasi untuk perang di masa depan.[1] Kabinet Jepang secara resmi memutuskan untuk mulai melakukan evakuasi pada 15 Oktober 1943.[4]