Dipol Samudra Hindia

Suhu muka air laut dekat Kepulauan Mentawai turun hingga 4° Celsius selama tingginya fase positif Dipol Samudra Hindia pada November 1997. Selama fenomena ini berlangsung, secara tidak biasa angin yang kuat berhambus menyebabkan tertiupnya air hangat dari timur Samudra Hindia yakni pesisir barat Sumatera menuju wilayah pantai timur Afrika, sehingga menyebabkan naiknya air dingin dari dasar laut di wilayah pesisir barat Sumatera. Pada gambar ini, warna biru menunjukkan suhu muka air laut yang lebih dingin dari biasanya, sedangkan warna merah menunjukkan suhu muka air laut yang lebih hangat dari.

Dipol Samudra Hindia atau yang lebih sering disebut sebagai Indian Ocean Dipole (disingkat IOD) dan Indian Niño ini merupakan suatu fenomena osilasi suhu air permukaan laut yang tak teratur yang menyebabkan wilayah barat Samudra Hindia lebih hangat (di fase positifnya) dan lebih dingin (di fase negatifnya) dibandingkan wilayah timur Samudra Hindia.[1]

Fenomena

Fenomena Dipol Samudra Hindia ini merupakan fenomena osilasi suhu air permukaan laut yang baru saja diidentifikasi pada tahun 1999 oleh para ahli klimatologi.[2][3] Fenomena Dipol Samudra Hindia meliputi osilasi suhu permukaan laut yang aperiodik atau tidak tentu periode kemunculannya. Fenomena ini mempunyai tiga fase, yaitu positif, netral, dan negatif. Fenomena IOD positif terjadi ketika suhu air permukaan laut di barat Samudra Hindia meningkat dan terdapat curah hujan yang meningkat secara signifikan di sekitar wilayah barat Samudra Hindia seperti pantai timur Afrika dan selatan Semenanjung Arab. Akan tetapi, pada fase positif ini suhu air di permukaan laut Samudra Hindia bagian timur menurun dan curah hujan di sekitar wilayah timur Samudra Hindia menurun seperti Indonesia dan Australia. Sementara, fase negatif fenomena ini terjadi ketika suhu air permukaan laut di timur Samudra Hindia meningkat dan terdapat curah hujan yang meningkat secara signifikan di sekitar wilayah timur Samudra Hindia seperti Indonesia dan Australia. Namun, pada fase negatif ini suhu air di permukaan laut Samudra Hindia bagian barat menurun, sehingga curah hujan di sekitar wilayah barat Samudra Hindia menurun seperti pantai timur Afrika dan Semenanjung Arab.[1]

Fenomena Dipol Samudra Hindia ini juga mempengaruhi kekuatan angin muson yang berhembus ke daratan anak benua India. Fenomena IOD positif yang siginifikan terjadi pada tahun 1997-1998 dan tahun 2006. Fenomena ini merupakan bentuk fenomena yang sama dengan El Niño–Osilasi Selatan di Samudra Pasifik.

Dampak di Asia Tenggara dan Australia

Fase positif dari fenomena IOD ini berdampak pada kekeringan berkepanjangan di wilayah Asia Tenggara dan Australia. Hal tersebut diakibatkan oleh rendahnya curah hujan yang disebabkan oleh rendahnya tingkat evaporasi di wilayah perairan Samudra Hindia bagian timur yang suhu air permukaan lautnya menurun.[4],[5] Berdasarkan beberapa penelitian klimatologi, fase ekstrem IOD positif diperkirakan akan terjadi di masa yang akan datang.[6] Di Indonesia sendiri, fase positif IOD sendiri berdampak pada musim kemarau yang lebih kering dan lebih panjang serta terlambatnya awal kedatangan musim penghujan seperti yang terjadi pada tahun 1997, 2005, dan 2019.

Penelitian di Universitas New South Wales menyatakan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara fase positif IOD dan kekeringan parah di wilayah Australia, terutama wilayah selatan. Hal tersebut dibuktikan dengan selalu bertepatannya kekeringan parah di Australia dengan berlangsungnya fenomena IOD positif di Samudra Hindia.[7]

Sementara itu, fase negatif fenomena IOD ini berdampak pada curah hujan yang tinggi di sekitar wilayah timur Samudra Hindia seperti Indonesia dan Australia. Hal itu disebabkan oleh meningkatnya suhu air di permukaan laut di wilayah perairan selatan Indonesia dan perairan barat laut Australia, sehingga menyebabkan evaporasi yang tinggi di wilayah perairan tersebut dan berakibat tingginya tingkat curah hujan di wilayah Indonesia dan Australia.[8] Selain itu, fase negatif IOD ini berdampak pada periode musim hujan yang berkepanjangan serta curah hujan yang lebih tinggi dari normalnya pada saat musim kemarau, sehingga mengakibatkan terjadinya kemarau basah, terutama bila IOD ini didahului atau diikuti oleh fenomena La Niña seperti yang terjadi pada tahun 2010, 2021, dan 2022 ini.[9]

Dampak di Pantai Timur Afrika

Fase positif IOD sangat erat kaitannya dengan peningkatan secara signifikan curah hujan di wilayah pantai timur Afrika pada periode basahnya, yakni Oktober-Desember.[10] Curah hujan yang lebih tinggi pada periode basah pantai timur Afrika hampir selalu bertepatan dengan fase positif fenomena IOD ini. Hal tersebut disebabkan oleh menghangatnya suhu air permukaan laut di wilayah barat Samudra Hindia, sehingga memicu tingginya evaporasi yang kemudian menyebabkan tingginya curah hujan di wilayah pantai timur Afrika seperti Tanzania, Etiopia, Somalia, Kenya, Uganda, dsb.[11]

Fase positif IOD ini pun sangat erat kaitannya dengan bencana hidrometeorologi di wilayah pantai timur afrika seperti banjir bandang, tanah longsor, dll. Saat fase IOD positif yang ekstrem berlangsung di akhir tahun 2019, rata-rata curah hujan di wilayah pantai timur Afrika meningkat hampir 300%.[12][13][14][15][16][17] Sebagai akibat dari perubahan iklim, diperkirakan bahwa fase positif IOD akan lebih sering terjadi di waktu yang akan datang, sehingga menyebabkan peningkatan curah hujan yang luar biasa di wilayah pantai timur Afrika.[18][19][20][21]

Sementara itu, fase negatif fenomena IOD ini berdampak pada kekeringan berkepanjangan di wilayah pantai timur Afrika. Hal tersebut diakibatkan oleh rendahnya curah hujan yang disebabkan oleh rendahnya tingkat evaporasi di wilayah perairan Samudra Hindia bagian barat yang suhu air permukaan lautnya menurun.[22]

Referensi

  1. ^ a b "Dua Kutub Samudera Hindia". LIPI. Diakses tanggal 15 Oktober 2020. 
  2. ^ Saji et al. 1999
  3. ^ Webster, P.J.; Moore, A.M:Loschnigg, J.P., Leben, R.P. (1999). "Coupled ocean–atmosphere dynamics in the Indian Ocean during 1997–98". Letters to Nature. 401 (6751): 356–360. Bibcode:1999Natur.401..356W. doi:10.1038/43848. PMID 16862107. 
  4. ^ Tan, Audrey (2019-08-22). "Dry spell likely caused by climate phenomenon". The New Paper (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-09-12. 
  5. ^ Tan, Audrey (2019-08-22). "Dry spell in Singapore likely to last several months". The Straits Times (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-09-12. 
  6. ^ Cai, Wenju; Santoso, Agus; Wang, Guojian; Weller, Evan; Wu, Lixin; Ashok, Karumuri; Masumoto, Yukio; Yamagata, Toshio (2014). "Increased frequency of extreme Indian Ocean Dipole events due to greenhouse warming". Nature. 510 (7504): 254–8. Bibcode:2014Natur.510..254C. doi:10.1038/nature13327. PMID 24919920. 
  7. ^ Ummenhofer, Caroline C. (February 2009). "What causes southeast Australia's worst droughts?". Geophysical Research Letters. 36 (4): L04706. Bibcode:2009GeoRL..36.4706U. doi:10.1029/2008GL036801. 
  8. ^ "STUDI DAMPAK EL NINO DAN INDIAN OCEAN DIPOLE (IOD)". UNDIP. Diakses tanggal 15 Oktober 2020. 
  9. ^ Narulita, Ida (Mei 2017). "Pengaruh ENSO dan IOD pada Variabilitas Curah Hujan di DAS Cerucuk, Pulau Belitung" (PDF). LIPI. Diakses tanggal 23 Juni 2022. 
  10. ^ Hirons, Linda; Turner, Andrew (August 2018). "The Impact of Indian Ocean Mean-State Biases in Climate Models on the Representation of the East African Short Rains" (PDF). Journal of Climate (dalam bahasa Inggris). 31 (16): 6611–6631. doi:10.1175/JCLI-D-17-0804.1. ISSN 0894-8755. 
  11. ^ Hirons, Linda; Turner, Andrew (August 2018). "The Impact of Indian Ocean Mean-State Biases in Climate Models on the Representation of the East African Short Rains" (PDF). Journal of Climate (dalam bahasa Inggris). 31 (16): 6611–6631. doi:10.1175/JCLI-D-17-0804.1. ISSN 0894-8755. 
  12. ^ "East Africa Food Security Outlook: High food assistance needs persist, but food security in the Horn is likely to improve in 2020, November 2019 - South Sudan". ReliefWeb (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-01-10. 
  13. ^ "The climate phenomenon linking floods and bushfires" (dalam bahasa Inggris). 2019-12-07. Diakses tanggal 2020-01-10. 
  14. ^ "Flooding in western Uganda kills more than a dozen". www.aljazeera.com. Diakses tanggal 2020-01-10. 
  15. ^ "Risk of more flooding and landslides as rains batter East Africa". www.aljazeera.com. Diakses tanggal 2020-01-10. 
  16. ^ "Kenya floods: More rain expected in region". www.aljazeera.com. Diakses tanggal 2020-01-10. 
  17. ^ "East Africa floods". BBC News (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-01-10. 
  18. ^ Chu, Jung-Eun; Ha, Kyung-Ja; Lee, June-Yi; Wang, Bin; Kim, Byeong-Hee; Chung, Chul Eddy (2014-07-01). "Future change of the Indian Ocean basin-wide and dipole modes in the CMIP5". Climate Dynamics (dalam bahasa Inggris). 43 (1): 535–551. doi:10.1007/s00382-013-2002-7alt=Dapat diakses gratis. ISSN 1432-0894. 
  19. ^ Zheng, Xiao-Tong; Xie, Shang-Ping; Du, Yan; Liu, Lin; Huang, Gang; Liu, Qinyu (2013-03-01). "Indian Ocean Dipole Response to Global Warming in the CMIP5 Multimodel Ensemble". Journal of Climate. 26 (16): 6067–6080. doi:10.1175/JCLI-D-12-00638.1. ISSN 0894-8755. 
  20. ^ Cai, Wenju; Wang, Guojian; Gan, Bolan; Wu, Lixin; Santoso, Agus; Lin, Xiaopei; Chen, Zhaohui; Jia, Fan; Yamagata, Toshio (2018-04-12). "Stabilised frequency of extreme positive Indian Ocean Dipole under 1.5 °C warming". Nature Communications (dalam bahasa Inggris). 9 (1): 1419. doi:10.1038/s41467-018-03789-6. ISSN 2041-1723. PMC 5897553alt=Dapat diakses gratis. PMID 29650992. 
  21. ^ Kendon, Elizabeth J.; Stratton, Rachel A.; Tucker, Simon; Marsham, John H.; Berthou, Ségolène; Rowell, David P.; Senior, Catherine A. (2019-04-23). "Enhanced future changes in wet and dry extremes over Africa at convection-permitting scale". Nature Communications (dalam bahasa Inggris). 10 (1): 1794. doi:10.1038/s41467-019-09776-9. ISSN 2041-1723. PMC 6478940alt=Dapat diakses gratis. PMID 31015416. 
  22. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-07-09. Diakses tanggal 2021-06-30. 

Pranala luar