Teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah menjadi salah satu inovasi terpenting dalam era digital. AI menawarkan berbagai manfaat dalam kehidupan sehari-hari, seperti meningkatkan efisiensi kerja, menyediakan layanan personalisasi, dan membantu proses pengambilan keputusan. Namun, di sisi lain, AI juga membawa tantangan yang signifikan, terutama dalam konteks penyebaran disinformasi. Dengan kemampuan untuk memproses data dalam jumlah besar dan menghasilkan konten yang sulit dibedakan dari konten asli, AI telah menjadi alat yang ampuh bagi pihak-pihak yang berniat menyebarkan informasi palsu atau menyesatkan.
Misinformasi mengacu pada informasi yang salah atau menyesatkan yang disebarkan tanpa niat jahat. Sebaliknya, disinformasi adalah informasi palsu yang disebarkan dengan sengaja untuk menipu atau mengelabui. Teknologi AI berperan dalam kedua kategori ini, tetapi dampaknya paling terasa dalam disinformasi karena sifatnya yang strategis dan terencana.
Contoh disinformasi yang melibatkan teknologi AI termasuk video deepfake, chatbot yang menyebarkan narasi palsu, dan algoritma yang mempromosikan konten kontroversial.
1. Deepfake
Deepfake adalah teknologi berbasis AI yang menggunakan jaringan saraf tiruan untuk menciptakan video atau audio palsu yang tampak sangat meyakinkan. Dengan deepfake, pelaku dapat membuat video seseorang berbicara atau melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah dilakukan. Teknologi ini telah digunakan untuk menyebarkan propaganda politik, merusak reputasi individu, dan menciptakan kekacauan sosial. Misalnya, video deepfake yang menggambarkan seorang pemimpin dunia membuat pernyataan kontroversial dapat memicu ketegangan internasional.[1]
2. Chatbot Otomatis
Chatbot berbasis AI digunakan untuk menyebarkan informasi palsu secara masif. Dengan kemampuan untuk mensimulasikan percakapan manusia, chatbot dapat membuat komentar di media sosial, menyebarkan tautan ke artikel palsu, dan memanipulasi diskusi online. Sebagai contoh, pada pemilu 2016 di Amerika Serikat, ribuan akun bot digunakan untuk menyebarkan berita palsu yang dirancang untuk memengaruhi pemilih.[2]
3. Algoritma Penyebaran Konten
Platform media sosial menggunakan algoritma AI untuk menentukan konten yang muncul di feed pengguna. Algoritma ini sering kali memprioritaskan konten yang kontroversial atau emosional, yang cenderung mencakup disinformasi, karena jenis konten ini lebih mungkin menarik perhatian pengguna. Penelitian menunjukkan bahwa berita palsu menyebar enam kali lebih cepat daripada berita benar di media sosial.[3]
4. Natural Language Processing (NLP)
Teknologi NLP memungkinkan AI untuk menghasilkan teks yang sulit dibedakan dari tulisan manusia. Contohnya adalah artikel atau berita palsu yang ditulis oleh model bahasa seperti GPT-3, yang dapat memanipulasi opini publik dengan menulis narasi yang terdengar otoritatif.[4]
5. Pengelolaan Identitas Palsu
AI dapat digunakan untuk menciptakan profil media sosial palsu yang tampak asli. Profil ini sering kali digunakan dalam kampanye disinformasi untuk mempengaruhi opini publik atau memanipulasi hasil survei online.[5]
1. Mengaburkan Batas antara Fakta dan Fiksi
Teknologi AI membuat disinformasi menjadi semakin sulit untuk diidentifikasi. Video deepfake, misalnya, dapat meyakinkan orang bahwa suatu peristiwa telah terjadi meskipun kenyataannya tidak demikian. Sebagai contoh, video palsu Barack Obama yang dibuat dengan deepfake menjadi viral di internet, membingungkan banyak orang.[6]
2. Peningkatan Kecepatan Penyebaran
Dengan bantuan AI, informasi palsu dapat disebarkan secara masif dalam waktu singkat. Chatbot otomatis dapat mempublikasikan ribuan pesan dalam hitungan detik, menjadikan disinformasi lebih sulit untuk dikendalikan. Contohnya adalah penggunaan bot untuk memanipulasi tren di Twitter.[7]
3. Pengaruh terhadap Demokrasi
Disinformasi yang didukung oleh AI dapat digunakan untuk memanipulasi hasil pemilu. Contohnya termasuk penyebaran berita palsu tentang kandidat tertentu atau penggunaan chatbot untuk memengaruhi opini pemilih. Dalam pemilu Brasil tahun 2018, kampanye disinformasi secara signifikan memengaruhi persepsi masyarakat.[8]
4. Kerusakan Reputasi Individu
Deepfake dan teks palsu yang dihasilkan AI dapat merusak reputasi individu, baik di bidang profesional maupun pribadi. Hal ini dapat berdampak pada karier, hubungan, dan kesejahteraan mental korban. Contohnya adalah penggunaan deepfake untuk menciptakan video pornografi palsu dari tokoh terkenal.
5. Polarisasi Sosial
Disinformasi sering kali memanfaatkan isu-isu yang sensitif secara emosional untuk memecah belah masyarakat. AI mempercepat polarisasi ini dengan mempromosikan konten yang sesuai dengan bias pengguna. Hal ini terlihat dalam diskusi online terkait isu-isu kontroversial seperti vaksinasi.
Pengembangan alat deteksi disinformasi berbasis AI adalah salah satu solusi utama. Misalnya, algoritma dapat digunakan untuk mengenali deepfake atau mendeteksi pola distribusi konten palsu.
2. Literasi Digital
Edukasi masyarakat tentang cara mengenali informasi palsu adalah langkah penting. Literasi digital membantu individu untuk lebih kritis terhadap informasi yang mereka temui.
Pemerintah dan organisasi harus bekerja sama dengan platform teknologi untuk memodifikasi algoritma yang mendukung penyebaran disinformasi. Hal ini termasuk memprioritaskan konten yang faktual dan tepercaya.
4. Regulasi dan Kebijakan
Pemerintah harus membuat regulasi yang jelas untuk mencegah penyalahgunaan teknologi AI. Ini termasuk aturan tentang penggunaan deepfake dan penalti bagi penyebar disinformasi.
5. Fakta-checking Otomatis
AI dapat digunakan untuk mendukung fakta-checking secara otomatis, dengan memverifikasi klaim dalam artikel atau postingan media sosial.
Penutup
Teknologi AI memiliki potensi besar untuk mempengaruhi cara kita menerima dan memahami informasi. Namun, jika tidak diatur dengan baik, AI juga dapat menjadi alat yang merusak melalui penyebaran disinformasi. Dengan kombinasi teknologi deteksi, edukasi masyarakat, kolaborasi dengan platform teknologi, dan regulasi yang efektif, tantangan ini dapat diatasi. Masa depan yang bertanggung jawab dalam penggunaan AI memerlukan usaha bersama dari semua pihak.
Referensi
- ^ Citron, Danielle; Chesney, Robert (2018-12-11). "Deepfakes and the New Disinformation War | Foreign Affairs". www.foreignaffairs.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-12-20.
- ^ Vosoughi, Soroush; Roy, Deb; Aral, Sinan (2018-03-09). "The spread of true and false news online". Science (New York, N.Y.). 359 (6380): 1146–1151. doi:10.1126/science.aap9559. ISSN 1095-9203. PMID 29590045.
- ^ Paris, Britt; Donovan, Joan (2019-09-18). "Deepfakes and Cheap Fakes". Data & Society (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-12-20.
- ^ "StratCom | NATO Strategic Communications Centre of Excellence Riga, Latvia". stratcomcoe.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-12-20.
- ^ Zannettou, Savvas; Sirivianos, Michael; Blackburn, Jeremy; Kourtellis, Nicolas (2019-05-07). "The Web of False Information: Rumors, Fake News, Hoaxes, Clickbait, and Various Other Shenanigans". J. Data and Information Quality. 11 (3): 10:1–10:37. doi:10.1145/3309699. ISSN 1936-1955.
- ^ Silverman, Craig (2016-12-30). "Here Are 50 Of The Biggest Fake News Hits On Facebook From 2016". BuzzFeed News (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-12-20.
- ^ Fatimah, Rafharum; Mumtaz, Auziah; Fahrezi, Fauzan Muhammad; Zakaria, Diky (2024-04-05). "AI-Generated Misinformation: A Literature Review". Indonesian Journal of Artificial Intelligence and Data Mining (dalam bahasa Inggris). 7 (2): 241–254. doi:10.24014/ijaidm.v7i2.26455. ISSN 2614-6150.
- ^ Hermann, Erik (2022-05-01). "Artificial intelligence and mass personalization of communication content—An ethical and literacy perspective". New Media & Society (dalam bahasa Inggris). 24 (5): 1258–1277. doi:10.1177/14614448211022702. ISSN 1461-4448.